HIENZE - 33

33 6 0
                                    

Namun, aku tidak merasakan kebahagian itu. Aku merasa sedih, kepikiran bagaimana Adena jika mendengar hal ini.

"Aksaa..." Aku berusaha mengabaikan ucapan Kak Angkasa. Berusaha bersikap sebiasa mungkin. Karena aku tidak ingin memberi harapan. "Maafin aku. Soal Adena.." Mendadak, kepalaku terasa pusing.

"Aku sama Adena cuman sebatas temen, Dev," jelas Kak Angkasa, dengan nada frustasi.

"Bukan itu maksud aku, Ak. Aku gak mau Adena tau kalau kita udah temenan dari dulu. Aku takut dia salah faham, Ak," ucapku, masih menunduk enggan menatapnya.

"Iya." Kak Angkasa masih menatapku serius, tetapi masih ada tatapan teduh yang aku lihat dari mata hitam kopi itu.

"Tapi gimana jawaban kamu?"

"Bolehkan aku enggak jawab?" Kali ini aku menatap mata hitam kopi itu dengan sedatar mungkin. Agar Kak Angkasa tidak tau kalau hatiku ini sudah mencelos, hatiku merasa sedih melihat kenyataan ini.

Dan aku baru sadar, kalau hubunganku dan Kak Angkasa sudah terlalu dalam. Terlalu rumit jika tiba tiba aku menjauh begitu saja. Dan aku sudah mengikuti arus hubungan ini, hingga aku semakin kesulitan melepas Kak Angkasa.

Kak Angkasa dari tadi diam, menundukkan kepalanya. Enggan menatapku. Dia terlihat sedih mendengar jawabanku atas ungkapan isi hatinya. "Ak, aku gak bisa lama lama. Aku pamit pulang dulu."

"Lho, Dev. Pesanannya aja belum jadi," ujarnya, buru buru mengangkat kepalanya, menatapku teduh. Kak Angkasa terlihat kecewa, sedih, dan kali ini tatapannya yang sayu itu membuat ku lemas. Bahkan aku juga merasakan sedih, harus melepaskan Kak Angkasa perlahan. Rasanya, hatiku merekah melihat Kak Angkasa seperti ini.

"Aku ingin istirahat," ujarku pendek, berusaha terlihat tegar, sambil buru buru melangkah pergi karena tidak tahan melihat Kak Angkasa seperti ini. Namun, belum saja kaki kananku mendarat, Kak Angkasa sudah menahan pergelangan tanganku lebih dulu.

"Aku anter pulang. Tapi tunggu bentar." Kak Angkasa meletakkan uang dari sakunya di atas meja, menyambar ponselnya, dan kemudian pergi menarik pergelangan tanganku lembut.

Maafin aku, Ak.

***

Sendari tadi, aku dan Kak Angkasa memilih diam. Kak Angkasa fokus menyetir. Dan sekali kali, aku memergokinya sedang mencuri curi pandangku. "Aku berhenti di warung Mang Ujang aja," ucapku, melirik takut takut ke arah Kak Angkasa.

"Kenapa enggak di depan rumah, aja?"

"Ad," buru buru aku meralat ucapanku, "Aku mau beli sesuatu di warung Mang Ujang."

"Yaudah," Kak Angkasa menghela nafas, memutar kemudi mobilnya agar menepi. Dan sekarang, aku bisa melihat dengan jelas warung Mang Ujang. Mobil Kak Angkasa pun sudah berhenti tepat di depan warung itu.

"Makasi, Ak. Aku pulang dulu," aku menyerong ke arah Kak Angkasa, dengan tangan mencoba membuka pintu mobil itu.

"Aku mampir ke rumah, ya?" Seketika, aku membulatkan mata, terkejut mendengar penuturan Kak Angkasa.

Kemudian, gelagapan tidak tau harus menjawab apa. Bukannya apa, di rumah ada Adena. Aku kan menghindari Adena agar cewek itu jangan sampai tau kalau aku punya hubungan yang cukup dekat dengan Kak Angkasa.

"Cuma becanda kok. Tapi kapan kapan aku mampir boleh, kan?" ucapnya sambil tersenyumtulus. Membuatku yang melihatnya, jadi gelagapan, salah tingkah.

"I-iya, Ak," ucapku membalas senyum itu, kemudian turun dari mobil, "Yaudah, aku turun dulu."

"Iya, hati hati, ya.."

Begitu mobil Kak Angkasa meninggalkan asap tipis, aku tidak melangkah mendekati warung Mang Ujang, melainkan pulang, sambil menundukkan kepala. Memang tadi hanya alasanku agar Kak Angkasa tidak perlu mengantarkan ku sampai rumah, karena ada Adena di rumah. Aku tidak mau Adena bertanya dan berpikiran macam macam. Kemudian tau kalau aku dekat dengan Kak Angkasa.

Bisa bisa, aku tidak tau lagi bagaimana sikap Adena.

Meski matahari tidak mempunyai perasaan, karena terus membakar kulitku. Aku tetap memilih berjalan kaki dari warung Mang Ujang untuk sampai ke rumah. Kemudian aku tersenyum lega, bergegas masuk ke dalam rumah ketika melihat mobil Kak Farhan berada di pelataran. Karena aku tau, pasti Kak Nurul akan membuat makanan yang enak kalau pacarnya itu datang.

Aku terkejut ketika yang membuka pintu rumah bukan Kak Nurul atau Kak Farhan, melainkan Zee. Cowok itu tersenyum kecil, kemudian menjabat tanganku, mempersilahkan masuk. Dengan celemek penuh tepung.

"Eh, aku kira siapa."

"Gue Zee, salam kenal."

"Apaan, sih," gerutuku sambil menyunggingkan senyum kecil tidak tahan melihat kelakuan Zee yang memang selalu membuat orang tertawa termasuk aku. Tak heran jika dia memang jadi cowok idaman di sekolah.

"Adena, kemana?"

"Tuh, tidur."

"Dia tadi enggak mau ke dokter, jadi gue terjebak disini. Terus bantuin Kak Nurul buat cupcake, deh."

"Lo harus coba, deh. Enak kok cupcake buatan gue." Zee tertawa garing, berjalan di samping gue.

"Iya, nanti aku coba," jawabku pendek, berusaha menyembunyikan perasaan tidak tenang setelah Kak Angkasa mengungkapkan perasaannya tadi.

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang