HIENZE - 27

28 7 0
                                    

"Dev, lo coba lihat, deh," Kak Angkasa menarik tanganku lembut untuk mendekati teropong yang di sewanya beberapa menit, "hebat teropongnya, gue sampe bisa lihat bulan yang tanpa malam, masih bisa bersinar cantik," ujarnya, menggeser teropong itu.

"Ih, bohong. Mana bisa lihat bulan, siang – siang seperti ini."

"Makanya di coba dulu," Kak Angkasa tersenyum, mempersilahkanku untuk memakai teropong itu.

Meski aku tidak percaya, bahkan sangat tidak percaya, aku melangkah mendekati teropong itu. Aku sedikit merendahkan tinggiku, agar bisa menggunakannya teropong itu untuk melihat pemandangan sekitar monas. "Mana? Enggak ada kok," ujarku masih menggerakkan teropong ke segala arah.

"Masa, sih? Gue kok bisa lihat, ya?" Kak Angkasa menyandarkan punggungnya di di dinding, menatapku dengan penuh senyum, "malahan lebih jelas gak pake teropong."
"Lebih keliatan cantik," cetus Kak Angkasa.

Dan sedetik kemudian, aku tahu maksud dari cowok itu. Lantas aku berdiri di sebelahnya, memukul bahunya pelan sambil tersenyum malu. Sampai sampai, aku merasakan pipiku memanas.

"Devv.." panggil Kak Angkasa lembut, tanpa menatapku, "Gue su.."

"Ak, aku ke toilet, dulu," sela ku, "bentar aja, ya. Nanti kamu bisa lanjutin ceritanya." Kemudian aku bergegas pergi ke toilet karena sudah tidak tahan.

Di toilet, aku secepatnya buru buru kembali, karena tiba tiba, aku merasa tidak enak pada Kak Angkasa karena ceritanya tadi sempat aku sela.

"Udah?" sapa Kak Angkasa melihatku yang sudah dekat dengannya. Lantas aku mengangguk. "Maaf, ya, tadi aku sela. Sekarang kamu bisa lanjutin," aku tersenyum, merasa bersalah.

"E-enggak, cuman habisini kita mau kemana lagi?" Aku melihat Kak Angkasa memaksakan senyumnya padaku.

"Kalau kita pulang aja, gimana?" aku menunduk. Sebenarnya aku tidak ingin segera pulang ke Bandung, aku ingin menikmati berkeliling Jakarta dengan Kak Angkasa.

Namun, untuk mengeliling Jakarta tentu saja memakan waktu yang lama, dan tenaga yang banyak. Apalagi aku tidak bisa menggantikan Kak Angkasa mengemudi, jika dia capek.

Kak Angkasa mengangguk, tersenyum. Pukul 02.00 siang, mobil Kak Angkasa membelah jalanan dengan kecepatan normal. Aku tersenyum, mencuri – curi pandang Kak Angkasa yang fokus mengemudikan mobilnya. Makasi, Ak.

"Kalau mau lihatin gue, bilang aja. Gue juga gak keberatan kok," tegur Kak Angkasa menyunggingkan senyumnya. Senyum yang membuat ku salah tingah dibuatnya. Tapi perasaanku terasa hangat mendengar ucapannya tadi.

Adena POV

Arrgggghhhhh.........

Gue teriak, loncat sofa ruang tengah. Hidung gue mulai gatal, dan nafas gue terasa sesak. Entah kucing siapa tepat di bawah meja mengeong dan menatap gue tidak bersalah. Sok imut, tapi bener sih lucu. Bulunya panjang lebat, warnanya abu abu lagi. Tapi gue takut, gak suka.

Paru paru gue bekerja 2 kali lebih keras, karena saat ini gue kesusahan untuk mengambil oksigen. Mama Emila dan papa lantas menuju ke ruang tamu tergesa gesa, mungkin karena terikan gue tadi mengundang mereka datang.

Maafin gue, kemarin gak bisa update.

Tetap semangat puasanya sampai hari kemenangan kalian dapat.

Selamat menunaikan ibadah puasa :)

Salam sayang dari saya. AHahahah, love you silent reader

20 Mei 2019

Swipe up

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang