EPILOG

96 7 3
                                    

Adena POV

Gila ya..

Matahari sudah hampir tenggelam. Tinggal waktu saja, matahari akan berganti bulan. Selesai matakuliah Ilmu hukum, gue, Luna dan beberapa teman cewek sekelas gue berjalan di koridor Fakultas Hukum. Rasa lelah gue terimbangi dengan tawa keempat teman baik gue di kampus. Luna, Dian, Jeny, dan Syakila.

Iya memang gue dulu tertinggal untuk registrasi ulang setelah diterima di Unpad jurusan Sastra. Jadi gue ikut SBMPTN deh, lalu gue milih jurusan hukum. Tapi bukan karena papa, tapi kali ini, ini keinginan gue. Gue ingin out of the box. Lo tau sendiri lah, gue memang tidak punya arahan ke depan.

Iya, untuk menulis gue, gue masih melakukan itu. Karena hobi gue. Kenapa ge gak milih Sastra lagi aja? Gue jawab gue ingin out of the box. Menurut gue, Sastra itu terlalu mudah. Gue bisa belajar sendiri di rumah, untuk menunjang pengetahuan kepenulisan gue.

Seketika gue terkejut ketika gue mengusap peluh, gue melihat Zee dengan jaket jeans hitamnya, dan dengan masih mengenakan celana abu - abu menyeringai senyum ke arah gue.

Iya, Zee masih kelas 11. Dan gue masih mahasiswa baru disini.

"Hai," sapanya.

"Hai," Bukan gue yang membalas tapi Jeny yang sepertinya menyukai Zee. Dan ketiga teman gue lain juga sekarang penuh semangat menatap muka Zee.

Kurang aja tuh bocah, tebar pesona di kampus gue.

Gue kesal akan Zee yang saat ini malah asik bertukar cerita dengan teman gue. Bukan dengan gue.

Tak heran sih, Zee memang sering jemput gue disini. membuat Zee sedikit kenal dengan teman - teman gue. Bahkan sampai ada yang sangat dekat sekali.

Gue menggepalkan kedua tangan, gelisah melihat Zee berbicara dengan teman gue sedekat ini. Kenapa juga sih, Zee harus jemput gue? Tebar pesona lagi.

"Zee, lo ganteng - ganteng kok jomblo sih."

"Gimana sekolah lo tadi? Ada cerita seru gak? Gue jadi pingin kembali SMA deh."

"Ada dong," jawabnya sok cool, sok imut. Gue sampe ingin muntah lihatnya.

"Eh, Enak ya!! Sore - sore gini kalian nanggepin cowok. Gak baik. Kalian pulang aja deh, sana!!" sahut gue, berdiri diantara mereka. Mengibaskan tangan, mengusir Luna, Jeni, dan Syakila. Kemudian gue menyengir, ada rasa tidak enak pada mereka karena mengusirnya.

"Ya, gak asih lo, Den," ucap Dian, terkekeh menatap Luna. "Lo kok gak tau aja, gimana Adena. Dia itu cemburu,"

"Ih, enak aja. Enggak kok! Gue balik dulu lah, mau ngerjain tugas," sanggah gue kemudian pamit. Menarik tangan Zee, menyuruhnya segera melajukan motornya. Agar tidak ada lagi yang menggoda Zee.

"Tugas apaan? Tugas membuat Zee senang ? gue kan udah daftar duluan, Den. Lo jangan langkahin gue dong," teriak Luna, ketika gue sudah jauh dari mereka. Kemudian gue mendengar tawa mereka.

"Langkahin mayat gue dulu, Lun. Baru lo bisa buat Zee senang," balas gue setengah berteriak, menatap ke empat teman gue itu.

Begitu motor Zee keluar kampus, gue menghela nafas. Menarik tangan gue yang sendari tadi melingkarkan di perut Zee. Kemudian memukul punggungnya pelan. "Lo gatel banget sih?!" kesal gue.

"Ih, apaan sih, Den. Terserah gue, gue kan jomblo," belanya pada dirinya sendiri. Meski kita tidak saling tatap karena di atas motor, gue bisa melihat senyum menyebalkan milik Zee dari kaca spion. Cowok itu selalu saja menjengkelkan kalau seperti ini.

"Jangan jangan lo cemburu ya?"

"Ih, ya kan geer banget lo," elak gue.

"Lo kesal kan tadi?"

Gue mengangguk.

"Itu namanya cemburu. Sekarang siapa yang bodo?"

"Lo, Zee."

"Iya, kan. Lo yang bodo, Den. Lo masih tidak tau perasaan lo. Lo itu suka sama gue." kekeh Zee yang saat ini sudah turun dari motor, menatap gue sambil berkacak pinggang.

Gue diam.

"Lo suka kan sama gue, Den?" tanyanya mengulang pertanyaan yang sama . Yang entah mungkin ini ke 5 kalinya dalam beberapa menit.

Karena kesal, bosen mendengar pertanyaannya yang menyudutkan gue. Gue pun membuang pandangan ke arah jalanan. Enggan menatapnya. "Lo suka, cinta, sayang kan sama gue, Den?"

"Iya, Zee. Gue sayang, cinta, suka sama lo. Muhammad Zeeshan Baharudin. Puas lo?!"

"Puas banget," jawabnya mantap, kemudian tertawa lepas.

"Tapi gue gak mau terikat sama lo. Gue gak mau pacaran sama lo. Pacaran itu dosa?!"

"Sejak kapan Adena Hienze Ganendra kenal kalau pacaran itu dosa? Kemana dia selama ini?" ucap Zee sambil tertawa.

***

Adeva POV

Adena udah diterima di Unpad jurusan hukum. Satu kampus dengan Kak Angkasa yang kuliah jurusan mesin di sana.

Aku tidak tau ya, jalan pikiran Adena. Dia cewek yang entah lah. Aku bingung harus berkata apa. Lupakan Adena, sekarang aku juga sedang kuliah di jurusan farmasi, ITB.

"Adeva, dimana Adena? Dia udah prepare belum? Dia jadi gak sih ikut ke bali?" tanya papa yang kepalanya muncul dari pintu rumah. Sedangkan aku di teras rumah, setelah mengantarkan Kak Angkasa pulang.

"Gak tau pa, dia belum balik jam segini. Bentar aku telepon. Kak Nurul jadi ikut?"

"Iya iyalah. Siapa sih yang bisa mengabaikan pesona Pulau Dewata," sahut Kak Nurul dari dalam rumah. "Apalagi sama keluarga."

Aku hanya tertawa mendengarnya. "Kak Farhan jadi ikut?"

"Ya jadi dong. Tunangan kakak harus ikut. Kan mau buat foto pra wedding."

"Yaudah, pa Adeva tanya Adena dulu."

Begitu teleponku tersambung, Adena langsung saja berbicara tanpa memberiku kesempatan dulu.

[Iya, habis ini gue pulang. Gila napa gue gak ikut, gue gak bodo harus mengabaikan pesona bali dengan segala macam bule disana. Oh iya, Satria ikut gak? Soalnya Zee juga mau ikut. ]

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang