HIENZE - 25

37 8 4
                                    

Adeva POV

"Ma, Adeva dateng." Suaraku parau karena mentahan untuk tidak menangis. Kali ini aku menahan air mata ini agar tidak jatuh begitu saja membasahi pipi. Aku berjongkok di samping batu nisa milik mama yang masih terawat, sambil mengelus batu nisan itu. Ada rasa bahagia bisa mempunyai kesempatan menjenguk pusara mama. Dan ada penyesalan yang amat besar yang mendominan.

"Maafin Adeva, ma. Adeva masih belum bisa membawa Kak Adena kemari."

Kak Angkasa ikut berjongkok setelah pamit entah kemana perginya. Kali ini Kak Angkasa membawa sebungkus bunga, dan menaburkannya di atas pusara mama. Membuat aku ikut mengambil segenggam bunga itu, dan ikut menaburkannya di atas pusara mama.

"Kali ini Adeva sama Kak Angkasa, ma. Adeva janji, Adeva akan bawa kakak kesini."

"Adeva sayang mama," Setelah bunga dalam kantung plastik itu sudah habis, tiba tiba saja, tangan Kak Angkasa menarik kepalaku agar menyandar di bahunya.

"Kalo enggak kuat, lebih baik lo nangis, Dev. Tapi kemudian, lo harus kembali tegar."

"Adeva enggak sedih, ma. Tapi terharu bisa jenguk pusara mama. Hehehe,"

"Jadi mama jangan sedih, ya.." aku pun bangkit, berlari menjauh karena sudah tak tahan lagi untuk tidak menangis. Lari jauh, hingga aku yang kehilangan nafas, harus berhenti di sebuah gazebo. Yang setelah aku lihat sekeliling masih berada dalam satu komplek pemakaman.

Air mataku yang tak tertahankan tadi, langsung mengalir deras membasahi pipi.

"Adeva.." suara Kak Angkasa terdengar di telingaku, lalu cowok itu duduk di sebelahku.

"Mama meninggal karena aku, Ak. Aku sendirian. Kakak aku udah berubah, semenjak kematian mama. Papa kandung ku juga seperti enggak mengharapkan kehadiran ku dalam hidupnya dari aku lahir hingga sekarang. Aku merasa sendirian di dunia ini."

"Rasanya aku ingin segera ikut mama ke surga," isak tangisku masih terdengar. Membuat Kak Angkasa langsung menarik tubuhku ke dalam dekapannnya untuk pertama kalinya. Hangat dan menenangkan.

"Husstt.. Lo gak boleh bicara gitu."

"Tapi Ak, seharusnya dulu, aku aja yang meninggal. Biar kakak ku masih bisa bertemu mama, biar dia tidak harus merasakan sifat dingin, dan acuhnya papa yang tidak pernah menganggap kami ada." Kak Angkasa semakin mendekapku rapat. Terus menyalurkan kehangatan lewat dekapannya itu agar aku sedikit tenang. "Dia tersiksa dalam diamnya."

"Bukan gini caranya. Kalian harus saling menyayangi, saling mengerti, Dev. Lo juga enggak sendirian, masih ada gue yang selalu ada di samping lo."

"Karena gue sayang sama lo, gue gak bisa melihat lo kaya gini, gue gak bisa biarin lo sedih, Dev." Suara Kak Angkasa juga terdengar parau. Mendengar ungkapan rasa yang tidak sengaja itu, aku berhenti menangis, melepaskan dekapan Kak Angkasa itu sambil menatapnya dengan tanda tanya besar dalam kepala ini.

Bagaimana bisa Kak Angkasa suka sama aku, jika kembaranku sendiri juga suka sama Kak Angkasa?

HIENZE bersaudari [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang