6. Magnet Untuk Besi

178 19 0
                                    

Seperti itik yang menemukan buntut, aku merasa beruntung menemukan arah pengantar pulang. Setelah mengobrol, bercanda, panjang, dan sangat lebar hingga tak terhitung kata nya. Aunty Stefania menyadari bahwa rumah yang di sewa oleh Baskara satu daerah dengan rumah nya, lebih tepatnya rumah tempat aku singgah. Dengan gaya super kuno seperti bapak yang bangga kepada anaknya, Dylan menepuk-nepuk bahu Baskara. "Dia ini keren! Nyewa rumah! Beda sama kaum miskin kaya saya yang cuma bisa nyewa flat kecil milik orang lain." Ucapnya sok tua.

"Ah! Toh rumah nya kan bukan buat tinggal sendirian. Ada Leo..." Ia mengerutkan keningnya. Tak ada lagi yang tinggal di rumahnya selain seseorang bernama Leo.

"Leo?" Tanya ku.

"Supir nya Baskara." Jawab Farina. Wow! Aku mewajarkan jika seorang Baskara memiliki supir pribadi. Tapi aku belum terbiasa dengan kehidupan Glamour orang-orang di sekitar ku, bahkan untuk masalah pengurusan SIM dan mobil tadi pagi pun aku masih sedikit canggung. Ku rasa hidup ku yang ini terlalu boros.

"Dan cuma Leo doang." Timpal Dylan melanjutkan ucapan Baskara. "Tapi wajar... komputer sama CPU nya banyak di rumah. Sulit jadi orang Cyber." Lanjut Dylan menjelaskan.

"Gak lebay ya Dy! Cuma satu ruangan kecil kok." Klarifikasi nya. Aunty Stefania tersanjung, menurut pandangan tua nya, Baskara seperti pria pekerja keras. CEO perusahaan yang telaten hingga sempat-sempatnya mengawasi meskipun beda negara.

"Wah boleh tuh kapan-kapan kita berkunjung..."

"Boleh banget Aunty! Sekarang juga boleh. Kebetulan Baskara nebeng mobil saya, boleh tuh pulang bareng Aunty, kan lumayan... bisa jadi supir." Usul Dylan spontan. Hey! Aku tahu, dan aku sadar, pria ini sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia hanya ingin pulang berdua dengan Farina dan mengalami adegan romantis berdua di perjalanan. Aku jadi ingat bagaimana hangatnya senja di atas flyover jalanan Ibu Kota. Dio dengan manis nya mempersembahkan pemandangan langit yang indah di tengah kemacetan. Sar! Aku pun tersadar dari lamunan begitu Baskara menepuk bahu ku.

"Ya?"

Semua orang di meja ku sudah berdiri dari bangku, aku tidak menyadari kapan Baskara menyetujui usul Dylan. Yang pasti sekarang sudah waktunya pulang. Aku pun ikut bangun dari kursi ku.

"Mikirin apa sih?" Tanya Baskara mensejajarkan langkah ku. Aku tertawa kecil, pasti aku terlihat seperti ayam tetelo, bengong dan terkulai lemas. "Kalau ada masalah, cerita aja... jangan sungkan!" Lanjut Baskara mengayomi. Untuk perkataan nya kali ini, aku benar-benar terharu. Ia terdengar amat sangat dewasa.

"Mobil aku di sini! Kita duluan ya!" Pamit Dylan. Nah! Aku baru menyadari bahwa Baskara akan pulang bersama kami. Aku, Aster, dan Aunty Stefania.

"Bye!" Seru Aster membuat aku, Baskara, dan Aunty Stefania ikut-ikutan melambaikan tangan seperti yang di lakukan anak itu.

Selama perjalanan aku dan Baskara tidak banyak bicara, tapi Aunty Stefania amat sangat antusias merekomendasikan destinasi wisata kepada ku dan meminta Baskara untuk mengantar ku ke tempat-tempat tersebut. Katanya aku harus mengunjungi Katedral Leonardo Da Vinci di Milan, Istana yang menyimpan lukisan bersejarah di Napoli, dan Kencan Romantis di Venesia. Aunty Stefania benar-benar ingin menjodohkan ku dengan Baskara. Gila! Mana bisa hati ini di paksa pindah dengan cepat? Teriak ku dalam hati.

"Ayo! Kita main ke kamar Sarah! Dia punya boneka lucu..." Aster menarik lengan Baskara begitu kita sampai di rumah. Padahal awal dari pembicaraan, aku dan yang lainnya yang akan mampir ke rumah Baskara. Tapi Uncle Agosto menelepon Aunty karena ia lupa menaruh beberapa dokumen penting dan meminta bantuan Aunty untuk mencarinya. Akhirnya Baskara yang main ke rumah kami, toh rumah Baskara terletak hanya beberapa blok dari rumah kami.

Dear My Last, Where stories live. Discover now