9. Why Not Take A Change And Bet On Happiness?

157 17 0
                                    

Ashakirana Boemi Sardi. Seharusnya aku bersyukur memiliki suami yang super duper pengertian di bumi. Nama itu ia pilih atas latar asal darimana anak ku terlahir, tanpa egois pria itu menyelipkan nama ayah kandung putri ku tanpa perlu ia mengetahui ayah kandungnya. Dio tetap menyertakan marga keluarganya pada anak ku, anak kami katanya.

Usia bayi ku baru dua bulan, rambutnya tebal, matanya abu-abu tua persis dengan manik mata Sore. Rambutnya hitam lurus selaras dengan rambut ku. Tidak ada satu pahatan pun yang sama dengan Dio, ku harap sifatnya akan sama dengan pria yang sedang sibuk mengayun kasur bayi yang berada di samping ranjang kami. Pria itu amat sangat penyayang, dan amat sangat baik sejak awal kita bertemu.

Untuk nama anak ku katanya di ambil dari bahasa India, artinya Sinar Pengharapan Bumi. Dan untuk Sardi, hanya sekedar marga. Sudah tiga hari perut ku sakit, tepat di esoknya aku pergi ke rumah sakit sendirian. Sudah seminggu lebih menstruasi ku tak kunjung berhenti, perut ku pun terasa sakit yang amat menyakitkan. Aku di rujuk untuk melakukak papsmear oleh Dokter ku. Kanker Serviks ku jalan stadium tiga. Dan aku tidak berani bercerita dengan Dio, aku tidak mau membebani nya lagi.

Bruk!

Dio menatap ku yang baru saja melempar tas kulit merah maroon ku. "Aku mau pulang ke Bali." Ucap ku tanpa basa-basi.

"Ayo kita liburan ke Bali!" Bukan. Bukan ini yang ku mau. Aku ingin melarikan diri, menenangkan diri, tanpa perlu membebani Dio lagi. Aku menggelengkan kepala ku cepat.

"Aku mau urus Asha di Bali." Mata Dio otomatis membelalak. Ia bangun dari duduknya.

"Tapi kan kerjaan aku di Jakarta." Ucapnya heran. Ia merasa heran kenapa aku secara mendadak minta untuk kembali ke Bali.

"Aku tetap akan ke Bali. Atas izin ataupun tanpa izin kamu." Dio menghampiri ku dan memegang kedua bahu ku. Matanya menatap ku dalam.

"Kenapa sih?" Tanya nya dengan suara meninggi. Aku menatapnya tajam, aku tidak bisa menceritakan semuanya sayang. Aku tidak mau kamu kembali terbebani. Sudah berbulan-bulan kita lalui bersama, tapi di sini aku tidak pernah merasa sempurna, aku merasa seperti kutukan di dalam hidup ku. Jika bisa di tarik ke dunia selanjutnya, mungkin aku akan menjadi hamba paling berdosa dan siap di sambut di neraka. Dosa ku banyak di tanggung oleh mu. Aku banyak menyakiti mu.

"Aku mau tinggal di Bali." Keputusan ku bulat. Aku akan kembali sembunyi di ketek ayah ku. Cukup ini dosa terakhir ku, dosa sebelum kematian ku.

"Ya tapi karir aku ada di sini Licia. Kamu jangan aneh-aneh deh.."

"Oke. Terserah. Besok aku antar ke bandara, aku bisa jenguk kamu tiap akhir pekan." Lagi. Pria itu mengalah lagi. Aku harap Asha benar-benar menuruni sifatnya, ia benar-benar baik. Asha beruntung memiliki ayah tiri seperti Dio.

Ada suatu kesadaran yang membuat ku tertegun dan merasa semakin berdosa. Pernah suatu hari aku sedang merapihkan lemari kaca rumah ku, maksud ku rumah Dio yang di tempati oleh aku. Aku mendapati satu buah foto tanpa bingkai berisi potret anak perempuan kecil. Aku tidak pernah berani mengutak-ngatik barang Dio, meskipun barang tersebut adalah benda yang tak ku sukai. Malamnya ku tanyakan pada Dio. Sembari memasang Apron, aku menatap Dio yang sedang duduk di meja makan. Awal nya aku tak berani menanyakan nya, tapi Dio yang merasa terganggu dengan lirikan ku berkali-kali akhirnya memulai pembicaraan.

"Ada apa?" Tanya nya setelah selesai menatap layar tabnya. Mungkin pekerjaan nya banyak? Entahlah.. lelaki ini tidak terlalu terbuka masalah kerjaan kepada ku. Aku menggumam kikuk. "Kenapa?" Ini pertanyaan yang kedua, kali ini alisnya ikut terangkat saking penasaran nya dengan gerak-gerik ku.

"Foto anak kecil yang di lemari..." ucapan ku belum selesai.

"Oh itu... Itu Sarah." Entah harus ku anggap lucu atau merasa cemburu. Aku selalu berpikir bahwa Sarah di takdirkan untuk Dio, dan Dio di takdirkan untuk Sarah. Jauh sebelum aku dan Dio saling mengenal, ternyata mereka berdua sudah di pertemukan dari sepucuk surat di balik foto dan hadiah Natal untuk korban gempa. Bahkan kata Nelin yang tidak terlalu menyukai ku, aku tidak boleh menyentuh hadiah berharga dari Sarah ketika tanpa sengaja memegang pulpen Pilot butut yang ada di atas meja kerja Dio. Ternyata itu hadiah Natal nya.

Dear My Last, Where stories live. Discover now