14. Mengenang

158 17 0
                                    

Namanya Jeanice, aku kenal betul tanpa mengenalnya. Aku baru saja membeli dua buah hot dog pinggir jalan dan duduk di rerumputan dekat Air Mancur Trevi. Tak lama Dylan datang, lalu ia mengambil hot dog yang memang ku belikan untuk dia. "Gimana? Kamu sudah packing untuk besok?" Itu kalimat pertama yang Dylan luncurkan setelah menelan satu gigit hot dog dari tangan nya. Aku mengangkat bahu, aku baru memasukkan beberapa potong baju dan tidak mengerti apa yang harus aku bawa. Yang Dylan katakan sesederhana aku harus membawa baju-baju tipis karena Indonesia memiliki iklim tropis, dan aku hanya memiliki beberapa potong baju. Dylan menautkan kedua alisnya seperti sepasang tangan yang akan jalan saling bergenggaman. "Kok gitu?" Protesnya tak mengerti dengan maksud dari kedua bahu ku.

"Nanti malam aku akan ke rumah Sepupu Bonita, aku tidak terlalu banyak memiliki baju tipis. Aku akan pinjam bajunya karena ia lebih banyak traveling di banding aku." Jelas ku lalu setelah itu aku menggigit hot dog milik ku. Dylan mengangguk menghargai keputusan ku. Aku senang, teman ku yang satu itu kini lebih mengerti aku. Pernah suatu hari dengan iseng Dylan mengajak aku dan Baskara liburan bersama, kami di bawa begitu saja oleh Dylan ke Amalfi. Di sana ia menyewa resort mewah dan mengajak kami belanja begitu saja. Aku tau Baskara dan Dylan adalah sahabat ku yang super duper kaya dan loyal, tapi aku amat sangat tidak enak hati ketika dengan mudah nya mereka membelikan ku baju ganti mahal demi liburan singkat kami. Aku mengatakan semuanya dengan jujur tentang perasaan ku saat itu, dan ini lah hasilnya, Dylan membiarkan ku meminjam baju sepupu Bonita. "Untuk uang tiket nya nanti aku ganti..." Dylan menatap ku dengan heran lagi.

"Oh come on Far! Gak usah kaku! Aku tahu ayah mu baru saja check up masalah tulang punggung nya, santai saja! Gak usah di ganti." Lihat betapa mudahnya dia mengatakan kalimat terakhir.

"Aku akan ganti." Ya walaupun aku sendiri pun baru saja meminjam beberapa euro uang Bonita untuk biaya hidup ku di Indonesia. Aku tidak memiliki tabungan sepeserpun karena terpakai untuk pengobatan Ayah. Dylan pasrah, ia mengangkat kedua bahu nya lalu mengucapkan satu buah kalimat. Terserah katanya.

"Apa Jeanice akan muncul di pesta ulang tahun teman mu?" Tanya ku asal. Dylan yang baru saja menempelkan mulut gelas cola di bibir langsung menjauhkan nya, ia tidak jadi minum karena pertanyaan konyol ku.

"Kami berada di circle yang sama, ku rasa dia akan datang." Itu baru praduga. Jeanice sangat menyukai Baskara, bahkan gadis itu menghampiri Baskara ke Italia di hari ulang tahun nya. Dia sahabat Baskara sejak SMP, wajah nya oriental, Baskara amat sangat manis dalam memperlakukan gadis ini. Perasaan Jeanice tumbuh semenjak pertama kali mereka bertemu, aku tahu semua karena gadis itu menceritakan nya. Tapi perasaan itu tidak akan pernah berkembang karena persahabatan yang mereka jalin. Jeanice merasa bahwa ia berada di zona pertemanan yang amat kuat sehingga tidak akan pernah bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi dengan Baskara. Baskara susah di tebak, aku sendiri pun tidak dapat menebaknya hingga tiba-tiba tertikung oleh orang baru. Sarah amat sangat beruntung.

"Ku rasa Baskara sulit di tebak." Dylan mengangguk sambil menyeruput cola nya, sepersekian detik kemudian ia melotot ke arah ku. "Kenapa kamu bilang begitu?" Tanya nya heran. Dylan tidak pernah mengetahui perasaan Jeanice, aku pun tidak seharusnya membocorkan perihal ini.

"Apa Jeanice akan datang dengan pasangan nya? Atau mungkin ia akan datang dengan teman seperti kamu mengajak aku?" Dylan tertawa pelan.

"Aku terdengar menyedihkan." Ia tidak menjawab pertanyaan pertama ku karena yang kedua lebih menyinggung.

"Maaf."

-

Licia kembali dengan anak kami. Kantung mata nya menghitam, pipi nya menggembung, dan tubuh nya mengurus begitu cepat dari terakhir kali aku melihatnya. Gadis itu terkejut sekaligus kikuk melihat ku yang sedang duduk manis di kasur kamar nya. Aku menggibaskan tangan ku, menyuruh nya untuk berjalan mendekati ku. Gadis itu melangkah sangat pelan seolah enggan menghampiri ku, tapi harus bagaimana? Aku suaminya. Licia menaruh Asha di ranjang kami, lalu ia duduk di sebelah ku sambil menatap kolam renang di balik tembok kaca kamar. Ia enggan menatap ku, tapi aku terus menatap nya.

Dear My Last, Where stories live. Discover now