13. Kentang dan Es Krim

185 14 3
                                    

Hari-hari ku bersama Baskara amat sangat manyenangkan. Tak terasa sudah satu bulan lebih aku tinggal bersama Baskara, dan kami belum melakukan apa-apa. Maksudku belum melakukan apa-apa dalam tanda kutip. Aku dan Baskara telah sampai di Jakarta, bukan Bali. Kebetulan tanggal pernikahan Ratu dan Reno lebih cepat daripada ulang tahun Dinan Dinata. Kami terbang duluan di banding dengan Dylan dan Farina karena mereka masih memiliki beberapa urusan di Italia. Pak Asep menjemput kami di terminal tiga, aku baru kenal karena dia adalah supir Baskara. Awalnya Bunda dan Ayah berencana menjemput ku di Bandara, tapi begitu tau bahwa aku kembali bersama Baskara, Ayah yang tak mau repot menyuruh ku pulang ke rumah dengan Baskara. Pak Asep ternyata tidak mengantarkan kami, Baskara menyuruhnya pulang dengan naik mobil online karena Baskara ingin mengantar ku sendiri ke rumah. Katanya biar lebih intens dan romantis. Aku membantu Baskara memasukkan koper ke dalam jok belakang mobilnya, hey! Sepertinya aku kenal dengan mobil ini! Ferrari merah?

"Mobil kamu sama Dinan Dinata kembar?" Baskara menautkan kedua alis nya sembari menatap ku.

"Dinan Dinata gak punya Ferrari merah." Baskara mengingat-ingat kembali keadaan teman nya yang satu itu. Seingatnya Dindin hanya memiliki Ferrari kuning.

"Tapi kaya nya aku pernah naik mobil ini sama Dylan, kata Dylan ini mobilnya Dindin." Baskara tertawa mendengar ucapan Sarah.

"Dylan emang suka minjem mobil ini sih kalau lagi di Indo, soalnya dia gak kepake juga kan selama saya di Itali. Terakhir ke Indo juga dia minjem, katanya buat nonton pertandingan nya Dindin." Aku otomatis menjentikan jari ku karena mengerti korelasi antara semuanya.

"Nah! Iya pas itu dia nganterin aku ke rumah!" Ucap ku girang. Baskara mengangkat kedua alis nya, selang beberapa detik ia mengetuk-ngetuk mobilnya dengan wajah pura-pura geram.

"Jahat kamu! Udah pernah nganterin Sarah dua kali!" Aku tertawa gemas melihatnya. Sebaliknya, Baskara pun merasa gemas melihat ku tertawa. Ia mengusap kepala ku sebelum masuk ke kursi setir nya.

-

Aku datang ke Bali tanpa mengetahui badai yang akan mendatangi ku. Berkali-kali Nelin geram pada ku, menurutnya rumah tangga ku tidak baik. Akhir-akhir ini Licia selalu pulang tengah malam, Asha lebih banyak di urus oleh Mbok, babysitter bayaran ku. Kata Nelin lebih baik aku ceraikan Licia, tapi aku malu pada Sarah. Tujuan ku meninggalkan nya adalah untuk mengurus anak ini, menemani Licia membesarkan Asha. Di sisi lain aku lelah dengan kelakuan Licia, tapi raga ku hanya mampu bersandiwara seolah-olah aku benar-benar seorang Rahwana yang akan menemani Licia, melindunginya. Nelin lelah mendengarkan keluhan ku, Arsyen sesekali membenarkan kecurigaan demi kecurigaan yang Nelin ucapkan. Sekali lonte ya tetap lonte, coba lo sesekali kelilingin semua kelab di Jaksel. Pasti Licia lagi godain cowo di sana. Aku selalu ingat ucapan itu, kadang aku bingung, apa yang aku lakukan sekarang ini benar? Aku akan selalu menjadi orang bodoh yang dengan sukarela di sakiti pasangan ku yang tidur dengan pria-pria lain di luar sana.

Dengan susah payah aku menelan ludah ku. Tatapan ku kosong setelah nya, aku tahu yang selama ini mengirimkan pesan romantis di aplikasi ask.me ku adalah Sarah. Beberapa bulan yang lalu aku mendapatkan satu pesan lagi, pesan petunjuk, pesan perpisahan, pesan takdir yang membuat ku heran. Ternyata selama ini aku selalu terhubung dengan Sarah. Kado natal, pesan di ask.me, menemani perjalanan kami. Tapi kini semua nya telah usai setelah pesan tersebut. Menyakitkan. Bagi nya, dan bagi ku.

Menjadi gerhana adalah bisa ku. Bebentuk indah, tapi sukar untuk di pandang. Berharap di pandang, tapi beberapa detik kemudian pergi dengan sejuta kenangan menyeruak di penjuru bumi atau bahkan di lubuk hati mu. Terimakasih pernah menjadi mentari yang memeluk ku, meski hanya sesaat. Selamat atas pernikahannya dengan Licia!
-Radikalis Gombal

Dear My Last, Where stories live. Discover now