22. Seperti Musafir

119 13 0
                                    

Selalu ada kejadian-kejadian aneh yang mengusik ku ketika kembali ke Indonesia. Ku kira kali ini akan menjadi liburan termenyenangkan karena aku dapat menghabiskan banyak waktu dengan Farina, tapi ternyata tepat setelah sarapan pagi, aku mengambil handphone ku di kamar. Aku menghubungi ibu tiri ku. Dengan penuh syukur wanita setengah baya itu menyambut panggilan ku. Jarang ada anak muda yang menghubungi nya, biasanya hanya teman-teman sosialita atau mungkin pegawai-pegawai yang menjalani bisnis nya. Licia tentu tidak pernah menghubungi nya, apalagi kedua kakak ku, Dyshi dan Dywei sudah lepas tangan dengan segala urusan romansa ayah.

"Dylan lagi ada di Bali." Ucap ku memberitahu.

"Wow! Mau mampir ke rumah? Papa kamu ada di sini." Yap! Semenjak menikah, ayah ku tinggal di sini dengan wanita itu.

"Enggak tan." Kalian akan mengetahui kemana arah obrolan ku nanti. Harusnya sudah tahu, tapi entah bagaimana pada akhirnya, aku serahkan segala keputusan nya di Ibu tiri ku. Aku tetap Dylan yang manusiawi, Dylan yang mempunyai hati, nanti aku akan berterimakasih kepada ibu ku yang mendidik ku sedemikian rupa. Aku sangat mencintai ibu ku.

-

Licia jarang berbicara dengan ku, hubungan ini semakin terlihat satu arah, aku tidak tahu cara membahagiakan Licia. Rutinitas kami selalu seperti itu, wanita itu melayani ku seperti pembantu jawa yang jarang berkeluh kepada majikan nya. Sekarang dia sedang melepas sandal nya, menggendong anak kami, lalu berjalan menuju kamar setelah menatap ku sekilas. Aku mengikuti gadis itu dari belakang "Besok aku antar kamu kemo yaa!" Ucap ku pelan. Gadis itu mengangguk, sementara aku sakit hati karena selalu di campakan. Kalau boleh mengeluh, aku lelah dengan hubungan ini, hubungan yang tidak seharunya aku pilih.

Aku kadang bertanya, mengapa penyesalan selalu datang di akhir? Dan di waktu yang bersamaan dalam hati ku menjawab, kalau penyesalan hadir di awal ia tidak akan melahirkan pembelajaran. Manusia sering kali memetik pembelajaran dari sesuatu yang menyakitkan bukan? Aku mengambil buku puisi dari rak yang ada di kamar Licia, tidak untuk di baca, hanya untuk mengalihkan kecanggungan ku akan hubungan ini. Kadang aku merindukan matan kekasih ku, ia tetap menyenangkan meski harus mengurus keponakan ku. Kami tetap bisa bermesraan sambil menonton pertandingan Polo saat itu.

Licia sedang duduk di depan cermin, ia baru saja menaruh Asha di kasur nya. Setelah itu ia menatap ku dari pantulan cermin. "Kamu masih sayang sama Sarah?" Tanya wanita itu dengan tatapan sayu, sementara aku baru saja menaruh pantat ku di ujung kasur.

"Kenapa?" Aku balik bertanya sambil menatap nya heran. Apa istri ku mengetahui pertemuan tanpa sengaja kami di pesta Dinan? Aku masih penasaran apa yang di lakukan Sarah di Bali. Apa gadis itu sudah memiliki kekasih? Kemarin sih ia mabuk sendirian. Banyak pertanyaan bergerumul di benak ku, perasaan bersalah mulai menyelimuti hati ku. Rambut gadis itu bukan hitam lagi, riasan wajah nya pun sangat tebal, ia suka minum-minum sekarang, apakah Sarah serapuh itu setelah kepergian ku?

"Kamu masih sayang dia." Ucap Licia menyadarkan ku dari lamunan panjang. Aku buru-buru menggelengkan kepala dan berjalan menghampiri untuk memeluknya dari belakang. Istri ku semakin kurus.

"Enggak lah! Tentu aku sayang nya sama Istri ku." Ucap ku dengan tulus. Entah perasaan tulus, atau mungkin aku hanya ikhlas dengan segala takdir yang di berikan oleh semesta. Licia selalu tampak cantik seperti saat pertama kali aku mencintai nya. Jika saja aku tidak memutar segala kenangan dengan Sarah, harus nya aku bersyukur dengan tadir ku yang ini. Aku menikahi cinta pertama ku. Tapi kisah ku dengan Sarah teramat manis untuk di kenang. Masak dumpling, makan berdua, mengasuh anak kecil sambil bermesraan adalah hal yang sulit di lupakan. Aku tidak mendapatkan hal semanis itu selama menikah dengan Licia, ah! Aku terlalu jahat karena selalu membandingkan istriku dengan wanita lain.

Dear My Last, Where stories live. Discover now