23. Awal

135 13 1
                                    

Apa yang akan Farina ceritakan padaku? Pertanyaan itu terus mengelilingi benak ku sejak bangun tidur. Pagi ini Baskara dan Dylan yang memasak sarapan untuk kami. Karena terlalu bosan dengan menu dari restoran resort yang hambar, akhirnya Dylan dengan segala ide cemerlang nya memesan segala bahan masakan dari dapur resort. Kebetulan masih ada sisa daging semalam, jadi menurutnya tidak salah jika kita membuat sarapan nasi goreng sapi. Aku sempat heran, kita bisa menemukan nasi goreng di restoran resort, kenapa harus ribet membuatnya? Micin. Rasa nya kurang micin jika masakan resort, lebih enak nasi goreng buatan Baskara yang gurih dengan micin. Itu kata Dylan. Sambil melipat lengan kaos nya, pacar ku bersedia memasakan sarapan untuk kami. Dylan tidak tinggal diam, ia membantu membuat eggroll dan memotong bahan-bahan lain.

"Pasti akan lebih mudah jika memakai daging bacon pipih, tapi Baskara muslim." Gumam Farina sambil memperhatikan Dylan yang sedang menggoreng daging terlebih dahulu. Daging nya harus di olah agar empuk, karena kebetulan kemarin mereka membeli daging Khas dalam besar dan tebal. "Agama kamu apa, Sarah?" Tanya Farina sambil menengok ke arah ku.

"Sama dengan Baskara." Jawab ku cepat.

"Aku dan Dylan atheis." Oh! Aku baru mengetahuinya. Tapi menurut ku agama bukan lah sesuatu yang pas untuk di bicarakan. Ku rasa aku termasuk ke bagian pendosa besar karena tinggal dengan pacar ku tanpa ikatan pernikahan. Aku tidak suka membahas perihal ini. "Sepertinya kamu memang di takdirkan untuk Baskara." Lanjut Farina sementara aku tertawa. Gadis itu pun menatap ku heran, apa yang lucu?

"Lalu kalau agama menjadi tolok ukur takdir, apa mungkin kamu di takdirkan untuk Dylan?" Tanya ku sambil berbisik. Gadis itu membulatkan mata nya, membuang wajah, lalu mengangkat kedua bahu nya malas. Aku bangun dari duduk ku, mengambil susu dari dalam kulkas, lalu menuangkan nya pada gelas ku. "Kalian mau minum apa?" Kini suara ku lantang.

"Udah kamu duduk aja! Biar aku sama Dylan yang buat semuanya." Jawab sekaligus perintah Baskara. Aku menatap Dylan dan Farina yang kini sedang malas melihat ucapan romantis Baskara. Menurut mereka itu romantis, tapi bagi ku biasa saja.

"Aku jago bikin kopi." Ucap ku sambil membuka lemari kitchenset. "Dalgona? Espresso? Machiatto? Tapi di sini ada nya Indocafe sama Kapal Api..." Suara ku melemah di akhir kalimat.

"Aku minum susu saja." Ucap Farina dan aku pun menuangkan susu ke gelas Farina dengan senang hati. Setidaknya masih ada yang menghargai kemurahan hatiku.

Sekitar dua puluh menit akhirnya Baskara dan Dylan sudah duduk di hadapan kami, Dylan di depan Farina, dan Baskara di hadapan ku. Kedua pria itu terlihat tampan meski belum mandi.

"Hari ini kalian jadi belanja?" Tanya Dylan sambil menatap aku dan Farina bergantian. Aku diam, tak menjawab. Ya! Itu jawaban singkat yang di lontarkan oleh Farina. "Lo yakin gak mau gue setirin?" Tanya Dylan sembari menatap ku.

"Gak usah! Ini girls time!" Tentu bukan aku yang menjawab, lagi-lagi Farina. Aku tidak tahu sepenting apa obrolan yang akan di bahas oleh Farina nanti, seperti nya amat sangat penting hingga ia tidak mau Dylan mendengarnya.

"Ya udah hati-hati ya!" Ucap Baskara sambil mengusap punggung tangan kiri ku yang memang sengaja aku taruh di atas meja. Aku mengangguk, sementara Dylan dan Farina malas melihat adegan romantis Baskara. Bagaimana tidak romantis? Ia mengucapkan nya sambil tersenyum manis. Ku rasa, lama-lama berdekatan dengan Baskara dapat membuat ku terkena penyakit diabetes miletus.

-

Siang ini aku dan Farina berencana akan mencari oleh-oleh di daerah Bandung, Bali. Dengan Range Rover sewaan Dylan kami meluncur menuju tempat tujuan. Hening menyelimuti kami selama lima menit. Aku dan Farina memang terlihat dekat di dalam lingkaran pertemanan Dylan dan Baskara, tetapi untuk berada di suatu tempat hanya berdua membuat kami canggung. Bagaimana pun juga Farina pernah menyukai Baskara, atau mungkin wanita itu masih menunggu akhir cerita cinta kami berakhir? Tidak ada yang tahu isi hati setiap orang. Bahkan aku berpikiran buruk seperti ini pun Farina belum tentu tahu. "Kamu mau ngomong apa?" Aku menyerah dengan keheningan, lagu dari radio tidak cukup ramai dalam keadaan seperti ini.

Dear My Last, Where stories live. Discover now