Dua mobil berhenti di depan Cafe La Marisier, pakaian mereka yang formal dan serba hitam putih membuat sebagian orang tertarik memperhatikan mereka saat masuk ke dalam. Tempat duduk yang mereka pilih adalah sebuah meja kayu panjang dekat jendela. Seorang pelayan memberikan daftar menu untuk mereka pilih. Bukannya memilih makanan, ketujuh orang itu malah menundukan kepala ke meja atau saling menyandarkan diri ke yang lain.
"Pesen, gih! Kasian lo pada kecapean kayak gitu, gak tega gue."
"Hmm, pesen duluan aja." Jawab Sheila sambil tetap menyenderkan kepalanya ke Varo.
"Gue sama Kayden ada perlu habis ini, jadi gue titipin uang buat kalian beli makan. Jangan sampe gak makan!"
Tidak ada jawaban, meskipun Galih sudah menyimpan uangnya di atas meja. "Mana kartu passnya?"
Satu tangan menyodorkan kartu hitam itu ke tengah meja, Galih mengambilnya dan memasukannya ke saku celana sebelum mengajak Kayden berangkat. "Gue duluan, stand by takut gue butuh bantuan kalian lagi. Rest well, guys!"
"Mau ngapain, Lih? Buru-buru amat."
"Ada petunjuk yang bisa dicari tapi gue bakal kasih tau kalian kalau udah pasti. Yaudah, duluan!"
"Heemmm."
Galih dan Kayden pergi meninggalkan Cafe dan masuk ke mobil putih Galih. Sekarang mereka akan pergi menuju kediaman Darrel, mantan ajudan mendiang Pak Rasen. Tidak ada rencana atau bayangan apa yang akan mereka lakukan, hanya bermodal nekad mereka berharap mendapat sedikit petunjuk.
○●⚖●○
Dua pasang kaki berdiri menghadap ke arah rumah bergaya minimalis dengan banyak karangan bunga tanda duka cita di depannya. Pintu yang tidak dikunci membawa keduanya masuk ke dalam rumah. Terlihat seorang wanita sedang menyapu bagian luar, wajahnya pucat ditambah dengan matanya yang sayu dan bengkak. Sepertinya ia sedikit terkejut dengan kedatangan dua orang laki-laki di rumahnya.
"Ini benar rumah Darrel?" tanya Kayden.
Wanita itu mengangguk, "Kalian siapanya Darrel?"
Galih dan Kayden bertatapan selama beberapa lama, "Kami temennya, Tante. Kebetulan kami polisi jadi kami butuh bantuan Tante buat cari petunjuk baru."
Wanita itu hendak menangis lagi, ia mendekat ke arah Kayden dan Galih. "Tolong, tolong cari pembunuh anak saya, saya mohon sama kalian."
Melihat wanita itu memohon, Galih memegang tangannya dan berusaha menenangkannya. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, jadi kami boleh cari bukti di rumah ini?"
"Silahkan, obrak-abrik semuanya. Saya mohon, saya gak terima anak saya dibunuh sekejam itu."
Galih lagi-lagi mengangguk, lalu mengajak wanita itu masuk. Keduanya diantar ke lantai atas dimana kamar Darrel berada. Bersih dan rapih, terdapat teropong bintang di balkon yang terlihat dari jendela besar. Kayden sangat takjub saat mendongak ke atas, pemandangan langit malam dengan bintang yang bertaburan membuat atapnya terasa dekat dengan langit.
Mereka memulai menelusuri seisi kamar, Kayden bergerak ke arah kanan tepat ke lemari dengan buku yang banyak. Sedangkan Galih, ia penasaran dengan pintu yang lebarnya hanya cukup untuk satu orang. Pintu itu Galih buka dan langsung menampakan sebuah tangga yang sepertinya menuju lantai atas.
"Kayden, sini coba liat!"
Kayden mengembalikan buku yang ia pegang ke tempatnya semula, ia berjalan menuju pintu kecil itu. "Gue pikir ini mungkin tangga ke lantai atas."
"Lantai atas?"
"Bukannya rumah ini cuman dua lantai?"
"Terus tangga ini, mungkin aja ke bagian atap. Lo tau? Kayak di film-film."
YOU ARE READING
I Law You
Mystery / Thriller"All I can do is believe in you." Kayden Zaferino lagi-lagi harus terlibat di dalam kasus meninggalnya seorang pengusaha muda sukses yang misterius. Kasus itu menarik seorang Mezzaluna Auristella, mahasiswi tingkat akhir yang disalahkan atas apa yan...