23 - Keraguan

61 2 0
                                    

Saat kembali dari toilet, Kayden menyadari perubahan di wajah Galih. Laki-laki itu terlihat berpikir tapi sambil memperhatikan ponsel miliknya. Kayden tidak menghiraukannya, karena menurut Kayden laki-laki itu sedang memikirkan Axel.

"Mana sini HP gue?" mendengar itu Galih langsung menarik ponsel Kayden ke belakang punggungnya dan menatap temannya itu dengan tatapan paling aneh yang pernah Kayden rasakan.

"Lo gak nyembunyiin apa-apa dari gue kan?"

Yang ditanya malah tertawa kecil, "Lo kenapa sih? Siniin HP gue," pinta Kayden untuk kedua kalinya tapi tangan Galih malah menepis tangannya.

"Kayden, lo gak berniat buat nusuk gue dari belakang kan?"

"Omongan lo mulai gak jelas, Lih."

"Gak jelas yah?" pertanyaan itu dibarengi dengan Galih yang menekan pesan masuk tadi dan membeberkannya di depan Kayden. "Kalau pake ini, masih gak jelas?"

"Salah kirim kali, ngapain gue harus laporan. Gue bukan penyidik lo tau sendiri."

"Emang yang harus laporan cuma penyidik?"

Pertanyaan Galih membuat Kayden bungkam sebentar tapi Galih tidak membiarkan laki-laki itu menjelaskan apapun. "Gak heran kalau lo punya kemampuan analisis, tarung tangan kosong, pake senjata apapun. Lo kerja buat siapa, hah?"

"Lih, gue gak kerja buat siapa-siapa. Gue gak tau siapa yang kirim itu dan gue gak pernah kenal nomor itu. Gue bisa analisis dari SMP lo tau kan? Kita nyelesain banyak riddle sama-sama. Gue bisa tarung tangan kosong kan lo yang ngajarin tiap minggu di rumah lo, gue bisa make senjata karena gue biasa main game dari SMP. Gue cuma pake naluri gue, Lih. Gak lebih dan gak kurang, lo percaya kan sama gue?"

"Emang lo pikir itu nomor bakal sembarangan ngirim teks dan nyuruh orang yang dikirim itu buat ngelapor ke markas? Kan enggak, mereka tau siapa yang harus mereka kirim."

Situasi seperti ini yang paling Galih benci, ia versi terjujurnya untuk Kayden tapi Kayden? Laki-laki itu bukan versi terjujurnya di depan Galih. Galih terlalu baik hingga selalu percaya pada laki-laki itu apapun yang ia ucapkan, kali ini kejanggalannya sudah melebihi batas wajar yang Galih tetapkan.

"Gue pengacara, lo mau liat lisensi sama tanda kelulusan gue dari fakultas? Gue bakal liatin semuanya sama lo kalau lo-"

"Gue gak butuh. Kalau lo mau jujur sama gue, gue beres rapat dua jam dari sekarang."

"Kita baru ngomongin hal yang baik tadi terus sekarang lo ngeraguin gue?"

"Den, lo pikir udah berapa kebohongan lo yang gue gak tau, hah? Lo masuk BK bilangnya lo telat lebih dari tiga kali padahal lo mukulin anak orang. Lo nginep di rumah bilangnya Kak Kayla lagi berantem sama lo padahal lo lagi kabur dari Tante Selma yang gak setuju lo masuk ke Fakultas Hukum. Lo lagi dan lagi ngebohongin gue dan gue masih percaya sama lo, karena apa? Karena gue yakin lo bukan orang kayak gitu. Sekarang gue ragu sama lo setelah semua kebohongan lo ke gue, wajar kalau buat gue. Dan buat omongan gue soal gue bakal ngelangkah sama lo, gue tulus soal itu."

"Lo kenapa sih, Lih? Lo tiba-tiba sensitif dan ngungkit masa lalu kayak gini, sidang Luna sebentar lagi dan gue gak mau ada masalah di antara kita."

"Iya bener, gue lagi sensitif soal apapun, gue capek, gue muak.

Galih pergi meninggalkan Kayden setelah berucap seperti itu. Kayden menyalakan kembali ponselnya, pesan yang ditunjukan oleh Galih masih ada disana. Ingin mengumpat rasanyapun tidak akan berpengaruh jadi laki-laki itu memutuskan untuk mendial nomor itu.

"Kenapa? Tidak biasanya kamu menelpon setelah pesan terkirim."

"Saya ke markas, tapi tolong bereskan satu hal buat saya."

I Law YouWhere stories live. Discover now