Bagian Dua Puluh Lima

2.9K 397 12
                                    

"When something is important enough, you do it even if the odds are not in your favor."

-----

Papa gak ikut makan siang. Karena itu, mama dan tante Nana bisa semakin semangat ngeledekin Ella.

Kayak sekarang.

Well, sebenarnya semua bermula dari pertanyaan mama, sih.

"Epin katanya mau nikah ya, La?"

Ella, yang sedang menyendokkan telur dadar ke piringnya – gak ngerti, tapi telur dadar mama tuh beda sendiri dan Ella ga pernah bosen sama menu andalan telur dadar dan sop beningnya ini – cuma menoleh dan mengangguk.

"Kapan?"

"Mama kok tau?" bukannya menjawab, Ella malah balik bertanya.

Posisi duduknya, Ella memang di hadapan mama. Mama bersebelahan dengan Tante Nana – yang berhadapan dengan Miko – yang membuat Ella memang duduk sebelahan dengan Miko.

Karena memang mereka keluarga kecil yang hidup bertiga – dan bahkan malah berdua selama Ella kerja di Jakarta dan kemudian kuliah lagi ke Amrik – jadi emang meja makan cuma punya empat kursi.

"Ya kan mama temenan sama mamanya Epin di facebook."

Ella sebenarnya tidak terlalu terkejut. Mama dan mamanya Epin memang dulu satu kampus, satu fakultas malah. Mama seniornya, dua tahun di atas mamanya Epin. Tapi, mama emang agak telat nikah, sementara mama Epin katanya dulu sempat juga nunda anak. Walaupun gak terlalu akrab, tapi dulu di kampus katanya satu UKM bareng.

Eh ketemu lagi waktu Ella sama Epin satu sekolah dulu. Dan kemudian cukup akrab walaupun kemudian Epin malah pindah ke Filippina. Tapi memang karena papa Epin dan papa juga ternyata di satu pengurusan organisasi yang sama – pejabat kedutaan dan dosen hukum internasional memang wajar crossing path in some way – jadilah mereka kembali berhubungan lagi.

"Ya berarti tau kan Epin kapan nikahnya?" kata Ella, sebelum menyendokkan nasinya ke mulut.

Dia dan mama memang punya cara komunikasi seperti ini. Saling ledek juga sering. Sinis-sinisan atau sarkastik juga. Ya makanya dulu Ella juga bilang mama beneran 'easy to adapt with new environment' karna baru seminggu balik ke Indo udah doyan nonton sinetron.

"Iya tau sih. Cuma mama bingung aja kamu kenapa belum jahit baju."

"Tau darimana aku belum jait?"

"Ya kamu mana pernah jait baju sendiri di Jakarta, ya kan? Orang biasanya ke Teh Pipit."

Teh Pipit itu penjahit langganan Mama di Bandung sini. Ella sih memang baru dua kali jahit ke Teh Pipit, dua-duanya buat baju bridesmaids – satu teman kampusnya, satu lagi teman kantornya di lawfirm dulu – dan dua-duanya memuaskan. Dia pernah bikin sekali di Jakarta, dan beneran fail. Akhirnya dia tanya ke mama karena memang mama lebih suka beli bahan buat dijahit baju – buat mama dan papa, mostly batik – daripada beli langsung jadi. Katanya sih, biar gak pasaran.

Dan ya itu, langganannya Teh Pipit.

Ella hanya mengunyah, tapi sambil nyengir.

"Emang tadinya mau ke Teh Pipit. Aku bawa bahannya." Kata Ella akhirnya mengaku. Mama meledek dengan menggerak-gerakkan bibirnya.

"Sore yuk, Ma?" kata Ella lagi.

"Sama Miko aja."

"HAH?"

Apaan sih nih ibu-ibu satu?

"Iya, biar sekalian Miko-nya diukur juga. Couple kan seragamnya?"

Mauka & MakaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang