Liana membuka pintu rumahnya sambil mengucap salam dengan nada yang terbilang lirih. Setelah menutup pintu, perempuan itu berjalan kembali melewati ruang tamu menuju ruang keluarga yang ada di rumahnya. Dia berjalan dengan langkah yang terlihat setidikit tidak semangat dengan topi yang sejak tadi dia pakai, dia lepas dengan asal yang membuat wajah suramnya terlihat dengan jelas.
Setelah sampai di ruang keluarga, dahi Liana sedikit berkerut saat melihat televisi yang ada disana masih menyala tanpa ada yang menontonnya. Sambil menghela napasnya berat, Liana melirik jam dinding di ruang ini yang ternyata sudah menunjukan pukul sepuluh siang. Dia memang baru saja pulang setelah berjam-jam membahas masalah reuni bersama dengan sahabatnya dan juga beberapa alumni yang lain.
Pada akhirnya Liana memilih mendudukan dirinya di sofa yang ada didepan televisi. Meraih remot yang ada di sofa itu juga untuk mematikan televisi yang entah sejak kapan menyala.
"Perasaan mamah gak pernah kaya gini," gumam Liana yang mulai menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Dia tahu betul jika mamahnya tidak pernah membiarkan televisi menyala terus padahal tidak di tonton, karena katanya itu adalah salah satu bentuk dari penghematan listrik.
Lagi, Liana menghela napasnya berat dengan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk didalam hatinya setelah pikirannya berkelana di waktu dirinya masih berada di cafe tadi. Jujur, selama di cafe tadi, bayang-bayang masa lalunya seolah terpampang jelas didepannya.
Sebelum Liana berhasil meminta maaf kepada lelaki itu, rasanya perasaan Liana tidak pernah tenang. Seolah Liana terus berada dibelakang sebuah penyesalan yang menjeratnya untuk mengikutinya setia waktu. Tidak ada kebebasan, tidak ada pula ketenangan.
"Mikirin sesuatu, huh?"
Tubuh Liana terlonjak kaget mendengar suara berat yang berasal dari samping kanannya. Membuat Liana segera menatap kearah sana dengan mata yang sedikit melotot kaget karena melihat wajah pria tampan yang sudah berada sangat dekat dengan wajahnya.
"Ihhh, ngangenin banget, sih!" kesal Liana sambil memukul wajah pria yang entah sejak kapan salah satu tangannya sudah menopang tubuhnya diatas sandaran sofa sambil sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Liana. Sedangkan tangannya yang memegang sebuah gelas, melurus dengan sempurna.
Pria itu meringis pelan tapi tidak merubah posisi tubuhnya tersebut. Dengan masih memegang wajah bagian dahinya, pria itu menatap kesal kearah Liana. "Gak usah main mukul aja, Na!"
"Ya, elo tiba-tiba disamping gue. Otomatis gue kaget, lah."
Pria itu menghela napasnya pelan, lalu menegakan tubuhnya dan memilih berjalan untuk duduk tepat disamping kanan Liana setelah meletakan gelas yang ada di tangannya keatas meja. "Cowok emang serba salah, dan cewek serba bener."
"Itu tau," ujar Liana yang terkekeh pelan dengan pandangan yang tidak terlepas dari pria dihadapannya. "Lo balik kapan, Dave? Dan lo lupa sama alamat rumah lo apa gimana, sampai nyangkut disini?" tanya Liana beruntun sambil bersedekap dada.
"Lo pikir gue layang-layang apa?" David, pria itu bertanya balik yang hanya dibalas kekehan oleh Liana. "Gue sampe subuh tadi dan setelah ketemu sama Nabila, gue langsung kesini mau ngasih lo oleh-oleh, malah taunya lo pergi sama yang lainnya."
Mata Liana berbinar setelah mendengarnya, telapak tangan kanannya pun segera terbuka karena ingin meminta oleh-oleh dari pria yang sudah sebulan ini di Palembang untuk mengurus pekerjaan disana. "Mana oleh-olehnya?" tanyanya sambil tersenyum.
"Lo udah hampir seperempat abad, tapi masih kaya bocah, ya?" kekeh David dengan sebelah tangannya melurus disandaran sofa. "Udah gue kasih ke nyokap lo tadi, kayanya udah dibawa ke kamar elo," lanjut David.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Boyfriend | Jung Jaehyun
Romance𝐂𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 𝐰𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠(𝐬) ; 𝐏𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐭𝐨𝐮𝐜𝐡, 𝐤𝐢𝐬𝐬𝐢𝐧𝐠, 𝐜𝐮𝐝𝐝𝐥𝐞, 𝐚𝐥𝐜𝐨𝐡𝐨𝐥, 𝐡𝐚𝐫𝐬𝐡 𝐰𝐨𝐫𝐝, 𝐡𝐚𝐫𝐬𝐡𝐧𝐞𝐬𝐬, 𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢𝐭𝐢𝐯𝐞 𝐭𝐨𝐩𝐢𝐜, 𝐞𝐭𝐜. _-_-_-_-_ Waktu bisa merubah sesuatu menjadi apa yang tida...