Liana membanting ponselnya keatas meja. Merasa muak dengan seseorang yang baru saja menelfonnya dan mengatakan banyak hal kepadanya. Dia pikir, sudah cukup dengan kesialannya hari ini karena dia bertemu dengan Aldi dan bahkan akan menjadi sekretaris pria itu. Tapi ternyata kesialannya tidak sampai disitu, karena telfon tadi juga menurutnya adalah sebuah kesialan.
"Sekarang kenapa lagi?"
Liana yang sempat menutup kedua kelopak matanya, kini membukanya lebar. Menatap ke sumber suara dan ia mendapati David berdiri tidak jauh darinya dengan menenteng sebuah plastik berukuran sedang.
Melihat kehadiran David membuat Liana berdiri dari duduknya. Meninggalkan meja riasnya untuk menghampiri David dan seketika, memeluk erat pria itu.
Mendapatkan pelukan yang mendadak seperti ini, membuat David terkejut. Pria itu sampai merentangkan kedua tangannya dengan refleks, dan akhirnya kedua tangan Liana bisa melingkar di kedua pinggangnya. David juga menatap bingung Liana yang sekarang hanya terlihat puncak kepalanya saja, karena wajah Liana tenggelam di dadanya.
"Kenapa?" pertanyaan itu terdengar begitu lembut yang justru membuat Liana semakin mengeratkan pelukannya tanpa menjawab pertanyaan David.
Jika sudah seperti ini, David hanya menghela napasnya pelan dan akhirnya membalas pelukan Liana dengan tangan kiri mengusap kepala Liana, sedangkan tangan kanannya yang membawa kan tok plastik itu mendekap punggung Liana.
Waktu berjalan begitu saja, sampai tidak terasa sudah sepuluh menit berlalu. Tapi mereka berdua masih dalam keterdiaman di pelukan yang tercipta.
David tidak mendengar suara isak kecil dari Liana, yang membuat David sedikit lega karena itu berarti Liana tidak dalam puncak kesedihannya.
"Mau sampai kapan kita kaya gini?"
Pertanyaan tersebut di respon cepat oleh Liana. Terbukti dengan Liana yang segera mendongakan wajahnya menatap David dengan ekpresi sendu, tapi perempuan itu tidak melepaskan pelukan mereka.
"Dave?"
David menaikan kedua alisnya sebagai jawaban atas panggilan Liana tadi.
"Lebih baik gue gak nyerah dan akhirnya di katakan kalah sebelum perang, kan?"
Lagi, David menaikan kedua alisnya dengan dahi yang mengerut bingung mendengar pertanyaan Liana. "Apa maksud ucapan lo?"
"Jawab dulu! Iya atau enggak?" Liana melepaskan pelukan mereka dengan tatapan yang masih terlihat begitu sendu.
"Udah jelas jawabannya iya." David melangkah meninggalkan Liana untuk menuju sebuah meja kecil yang ada di kamar perempuan itu, meletakan kantong plastik yang tadi dia bae disana. "Belum juga di coba, masa mau nyerah gitu aja." David kembali menatap Liana yang masih berdiri di tempatnya tadi.
"Tapi kalo ini menyangkut masalah rasa sakit kalo tetep di paksa melakukannya, gimana, Dave?"
"Sebenernya ada masalah apa, sih?"
Liana tiba-tiba terdiam, dan di beberapa saat kemudian perempuan itu menunduk dengan kedua tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya. Jari-jari kedua tangan tersebut terlihat saling meremas.
Melihat Liana melakukan kebiasaan saat perempuan itu merasa bimbang, yang terjadi sejak dua tahun silam, membuat David berjalan menghampiri Liana kembali. Dan setelah pria itu berdiri tepat di depan Liana, David menyentuh kedua bahu perempuan itu. "Cerita kalo emang lo siap dan percaya sama gue!" kalimat itu sering David katakan kepada Liana saat Liana merasa ragu mengatakan sesuatu kepadanya seperti sekarang ini.
"Gue di terima kerja jadi sekretaris pribadi di salah satu perusahan."
"Bukannya itu kabar bagus, kan?" David tersenyum lebar mendengar kabar tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Boyfriend | Jung Jaehyun
Romance𝐂𝐨𝐧𝐭𝐞𝐧𝐭 𝐰𝐚𝐫𝐧𝐢𝐧𝐠(𝐬) ; 𝐏𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐭𝐨𝐮𝐜𝐡, 𝐤𝐢𝐬𝐬𝐢𝐧𝐠, 𝐜𝐮𝐝𝐝𝐥𝐞, 𝐚𝐥𝐜𝐨𝐡𝐨𝐥, 𝐡𝐚𝐫𝐬𝐡 𝐰𝐨𝐫𝐝, 𝐡𝐚𝐫𝐬𝐡𝐧𝐞𝐬𝐬, 𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢𝐭𝐢𝐯𝐞 𝐭𝐨𝐩𝐢𝐜, 𝐞𝐭𝐜. _-_-_-_-_ Waktu bisa merubah sesuatu menjadi apa yang tida...