Sebagian orang berubah karena kondisi yang memaksanya berubah. Atau bisa jadi muak akan kenyataan. Dan keputusan lo untuk pergi membunuh gue secara perlahan.
~Aland Erlangga Putra
Tempat dengan alunan musik yang dibawakan oleh DJ menghanyutkan pengunjung sehingga asik berjoget mengikuti alunan lagu. Mereka berdesakan di lantai dansa dengan ukuran besar di bagian tengahnya. Ruangan bernuansa gelap hanya bermodalkan lampu sorot yang berputar-putar di atas kepala.
Seakan muak dengan kehidupan, lelaki penggemar warna hitam itu terus meneguk beberapa gelas minuman keras yang membuat kepalanya berdenyut pusing. Mulutnya pun mengeluarkan ucapan tidak jelas.
"Aresha, gue sayang lo. Lo Aresha 'kan? Atau lo? Lo? Agh!" katanya dengan suara lemah seraya menunjuk setiap wanita yang melewat di hadapannya. Tetapi, tidak mendapat tanggapan. Setiap orang yang sering mendatangi tempat tersebut sudah sangat paham dengan kelakuan lelaki itu.
Seorang lelaki bertopi datang menghampiri. "Lo mendingan balik, Land. Kondisi lo udah mabuk berat. Lo bisa pingsan lama-lama. Lagian mau lo habisin berapa puluh gelas lagi si Aresha nggak akan balik ke lo."
Lelaki bertopi itu ialah Sandy, teman yang sudah merangkap sebagai sahabat bagi Aland. Meskipun dulu mereka sempat berbeda kota, namun Sandylah salah satu cowok terdekat bagi Aland ketika mendapat masalah. Sandy bersedia menampung Aland untuk tinggal di rumahnya semenjak pindah ke Jakarta. Dia juga yang membantu Aland agar bisa mendaftarkan diri di sekolah yang sama dengannya. Karena bagi Sandy, Aland bernasib serupa. Sama-sama bertahan hidup sebatangkara tanpa orang tua.
Suasana hiruk piruk kini menjadi tempat yang paling disukai lelaki bernama lengkap Aland Erlangga Putra. Keputusasaan yang telah diambang batas membuatnya kehilangan tujuan hidup. Jangankan tujuan, harapan hidup pun telah lama hilang semenjak cobaan datang silih berganti. Semua yang terjadi menjadikan ia kalang kabut dan terjerumus kedalam dunia gelap.
Dengan langkah gontai dan masih tersisa luka lebam di wajahnya, ia dipaksa keluar oleh Sandy. "Lo enggak boleh kayak gini, Land. Masa depan lo masih panjang. Sekarang lo pulang jangan ke tempat ini lagi!" pintanya sambil menyeret Aland ke tempat parkiran motor.
Emosinya tidak terkendali. Kekalahan yang ia dapatkan dari lelaki sok jagoan tempo hari, membuatnya naik pitam sehingga emosinya semakin membumbung tinggi. "Lo jangan munafik larang gue ke sini sedangkan lo lebih parah! Lo enggak usah ngatur gue. Atur dulu hidup lo! Jangan sok peduli. Gue muak sama orang yang pura-pura peduli terus ninggalin gue!"
Sandy tidak memasukkan perkataan pedas Aland ke dalam hati. Dirinya telah kebal oleh segala penilaian negatif karena dia merasa pantas mendapatkannya. Dia hanya bisa memperhatikan Aland yang menjauh dari tempatnya berdiri.
'Cukup hidup gue yang ancur, lo jangan, Land.'
***
Jalanan malam yang sepi membuat Aland merasa bebas. Biarkan dirinya disebut gila karena dia telah menggila setelah kehilangan Aresha. Angin malam mengantarkannya mendapatkan kedamaian yang seakan lenyap dari hidupnya yang telah berganti kelam. Diluar kendali kuda besinya mengarah ke salah satu perumahan mewah.
Tanpa rasa segan ia membunyikan klakson motor memecah keheningan malam. Namun, yang diharapkan tidak ia ditemukan. Seorang lelaki jangkung ke luar dari balik pagar rumah dengan rahang yang telah merapat geram.
"Lo gila malam-malam ke sini? Lo enggak punya malu? Lo mau cari mati? Lo budek udah gue suruh jauhin adik gue masih ngotot? Huh?! Lo ngapain ngejar adik gue sampai sini?!" tanpa menunggu lagi Ravan langsung mencengkeram jaket kulit hitam yang Aland kenakan. Menggusur lelaki setengah sadar itu turun dari motornya.
Tawa sumbang dan cengiran khas orang mabuk membuat emosi Ravan semakin tidak terkontrol. Tatapan mereka beradu sengit dengan tangan yang sudah mengepal sejak tadi
"Hahaha ... gue enggak nyari lo. Gue nyari pacar gue. Pacar gue! Di mana dia sekarang? Jawab lo punya mulut kan?!" bentaknya dengan
senyuman miring terlukis di wajah.Rasa hormat yang selalu Aland tunjukan saat ini menghilang. Rasa segan terhadap Ravan telah lenyap menjadikan ia sangat berani. Ditambah lagi dengan efek dari minuman keras tadi belum benar-benar hilang.
"Mimpi lo ke tinggian!" tinjuan beruntun sudah tidak dapat tertahan. Kepalan tangannya seakan gatal ingin segera meninju dengan keras. Pada detik berikutnya suara baku hantam terdengar saling bersahutan.
Menyadari ada sesuatu janggal di halaman rumah Aresha lantas mengintip dari celah jendela kamar. Sontak berlari menuruni anak tangga dengan langkah cepat.
Cewek itu mematung beberapa saat. "Stop! Gue mohon udah jangan berantem!"
Baik Ravan maupun Aland keduanya sama-sama terpaku. Pukulan mereka sontak terhenti. Dengan cepat Aland menghampiri Aresha yang mematung di depan pintu. Meninggalkan Ravan yang berwajah merah padam karena kesal. "Sha, Tolong jangan jauhin gue. Di Bandung gue nggak punya siapa-siapa lagi. Lo masih sayang gue 'kan Sha? Jawab!"
Aresha tetap tidak mau menatap wajah lelaki di hadapannya. Meski kedua bahunya kini dicengkeram kasar oleh Aland. Ravan berjalan mendekat lantas mendorong bahu Aland sehingga membuatnya terjerembab ke belakang. Berjongkok di samping lelaki yang kini menyeka darah di sudut bibirnya.
"Lo enggak akan bisa balikkan lagi sama adek gue! Lo bukan siapa-siapa dia lagi. Dulu gue percaya lo bisa jagain dia, tapi lo yang bikin kepercayaan gue hancur. Lo pulang sekarang, gue tau lo lagi mabuk! Lo itu lelaki brengsek! Lo enggak pantas buat Adik gue!" Ravan berucap dengan suara rendah sehingga terdengar dingin dan serak.
Aresha hanya mampu tertunduk, hatinya berkecamuk. Antara sedih sekaligus kecewa semuanya berpadu jadi satu. Namun, kekecewaan telah menutupi dan menimbun semuanya.
Aland tidak mengindahkan ucapan Ravan, bahkan menatapnya pun enggan. Sama sekali tidak peduli terhadap mantan sahabatnya itu. Ia terus menatap iris mata Aresha di bawah temaram lampu. Menyaksikan kecantikan wanita yang ia sayangi ada gurat rindu berbalut pilu di binar matanya.
"Gue bisa berubah demi lo, sha." Aland kembali bangkit. Berkata lebih halus dari sebelumnya.
Aresha menguatkan hati untuk balik menatap manik mata Aland. "Maaf Land, gue enggak bisa. Gue udah kecewa. Lo udah keterlaluan, gue muak, Land!" Aresha berlalu kembali masuk ke dalam rumah. Berlari Menuju kamarnya dengan air mata yang sudah merajuk keluar. Tidak peduli langkah kaki beralas sendal jepit terdengar nyaring mengenai ubin. Toh, orang tuanya belum pulang bekerja semalam ini.
Deru suara motor menjauh. Menandakan Aland sudah berhasil dipukul mundur oleh Ravan. Kepingan memori berputar kembali. Hadir diiringi usapan angin malam. Tidak apa, ini sudah dari cukup untuk menenangkan perasaan kacaunya.
TBC
~•••~
Kira-kira gimana ya masa lalu Aresha? Kok membekas banget ya?
Jangan ditiru yang nggak baiknya, ya. Kita ambil hikmah dari kehidupan mereka. Bahkan cinta bukan segalanya dan masalah akan reda bila sampai pada waktunya. Dengan syarat kita tidak menyerah dalam menghadapi semua itu. ^^Sorry for typo😅
See you❤Salam hangat
Risyyu
![](https://img.wattpad.com/cover/170869593-288-k420971.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Jutek Vs Raja Bego (Completed) √
Jugendliteratur[ JANGAN LUPA FOLLOW YA ] ※_______________※ Jika mungkin kebanyakan wanita terpesona oleh cowok super keren dan pintar, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan Marshel? Seorang cowok pecicilan, tukang gombal, terlampau percaya diri, dan telah kehilang...