Dua Kata ❁

188 33 176
                                    

Jangan lupa vote ✩ dan comment ya pembaca yang baik ♡

~●●●~
Tidak ada yang tau hal apa yang akan terjadi. Semoga hal baik sedang menanti.

~Aresha Ravan Arabella

~●●●~

Ini sangat langka. Sikap pecicilan dan ketidak seriusan Marshel seakan menguap lenyap entah kemana. Sisi lain dari dirinya memberi dorongan kuat untuk dapat menyelamatkan nyawa sang kakak.

Marshila Abrizani. Telah lama mengidap penyakit kanker darah atau biasa kita kenal dengan leukemia. Terjadi di sumsum tulang yang memproduksi sel darah putih yang abnormal sehingga berdampak pada sel darah sehat lain. Serangkaian kemoterapi tidak lantas membuat penyakitnya pulih.

Marshel ditemani oleh Ara dan Abiputra menghadap dokter untuk membahas masalah ini lebih serius. Berada di sebuah ruangan berdominasi cat bewarna putih. Marshel malah duduk santai menyandarkan punggung pada kursi yang disediakan.

"Apa yakin kamu mau jadi pendonor buat kakak, Shel? Gimana nanti kalo kamu kenapa-napa? Lebih baik kamu pikirin lagi soal ini, Shel," resah Ara dihadapkan oleh dua pilihan sulit.

Marshel tersenyum memperlihatkan cekungan di pipinya. Kedua tangan cowok itu bergerak merangkul Ara dari samping. "Soal dari Mama essai mulu, Marshel bingung jawabnya."

Kumat kembali. Ara dan Abiputra menghela napas panjang bersamaan. Memang sulit untuk berbicara yang efektif dengan Marshel. Sementara dokter lelaki berusia tiga puluh tahunan itu malah dibuat tersenyum kecil.

"Benar. Keputusan harus diambil dengan baik. Mengingat ini sangat berisiko. Namun, jika pasien tidak segera mendapat pendonor maka kondisinya bisa menjadi lebih buruk," tutur dokter Jordan.

"Tapi apa anak saya sudah memenuhi syarat menjadi pendonor, Dok?" Abiputra ikut andil dalam pembicaraan.

"Untuk itu anak Bapak harus menjalani serangkaian tes. Hal ini sangat bergantung pada cocok tidaknya genetik pendonor dan pasien. Biasanya pendonor yang paling cocok memang dari saudara kandung sendiri," jelas Dokter Jordan lebih rinci.

Mata Marshel menyipit. "Insyaallah cocoklah, Dok. Orang keren kayak saya sayang kalo disia-siain," celetuk Marshel ngawur. Sungguh. Mulutnya memang tidak memiliki saringan sama sekali.

Ara menyikut Marshel diiringi dengan sorot mata tajam seperti hendak menerkam. "Kamu ini serius nggak sih? Mama nggak yakin kamu bisa serius."

"Mama 'kan udah diseriusin Papa. Marshel takut durhaka kalo harus seriusin Mama juga," jawab Marshel dengan raut wajah minta ditampol.

"Marshel," geram Ara mencubit pelan lengan Marshel membuat si empunya mengaduh.

"Punya anak kok gini amat," tandas Abiputra menyaksikan tingkah Marshel.

Yang dituju hanya memperlihatkan cengiran lebarnya. Sama sekali tidak merasa bersalah. Tetap santai seperti biasa.

"Jadi bagaimana, Dok? Kapan pemeriksaan itu dilakukan?" tanya Ara kembali ke dalam topik perbincangan.

"Lebih cepat lebih baik. Agar kondisi pasien dapat lekas pulih." Dokter Jordan tersenyum ramah.

Marshel langsung bergerak bangkit berdiri dengan secepat kilat. Membuat Ara dan Abiputra yang ada di sisi kanan kirinya terkejut atas gerakan tuba-tiba Marshel. Alhasil, cowok berhalis tebal dengan lesung pipi itu dihadiahi oleh tatapan ganas dari orang tuanya.

Ratu Jutek Vs Raja Bego (Completed) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang