Jangan lupa vote ✩ dan comments pembaca yang baik ♡
~●●●~
Boleh mencintai, tapi jangan sampai lupa cintai diri sendiri. Boleh takut kehilangan, tapi jangan sampai kehilangan jati diri.
~●●●~
Entah untuk kali keberapa Aland mendengkus kesal menatap layar handphone-nya. Rentetan pesan dan telepon tidak kunjung mendapat tanggapan membuat ia melempar benda pipih itu kesembarang arah.
"Sial!" Geram Aland memecah keheningan.
Mata elangnya mengedar gelisah. Senja indah yang terpampang nyata di depannya tidak ia hiraukan sama sekali. Semua isi kepalanya tidak bisa terlepas dari seseorang.
Aland berjalan mendekat ke arah samsak hitam. Ia tak henti meninju samsak itu dengan napas memburu. Kaos hitam yang ia kenakan basah oleh keringat. Namun, ia tidak lantas menghentikan aksinya.
Beberapa lama kemudian Sandy datang dengan secangkir kopi. Dirinya duduk di kursi yang memang disiapkan di balkon rumahnya. Memangdang Aland seraya berdecak pelan.
"Belum puas lo nyakitin diri sendiri? Lo terlalu lama ninju tuh samsak." Sandy berucap datar.
Aland menoleh ke belakang, lalu bergerak mendekat duduk di kursi sebelah Sandy dengan tatapan kosong lurus ke depan. Cowok itu bahkan mengabaikan rasa perih pada jemari tangannya.
"Gue benci diri sendiri, San. Gue bodoh karenya bikin dia kecewa," Aland tersenyum miris merasa bahwa takdir baik belum kunjung menghampirinya.
Sandy menyeruput kopi yang ia bawa. Setelahnya ia menyenderkan punggung pada sandaran kursi dengan pandangan menerawang. Ia sangat hapal betul orang yang dimaksud oleh Aland. "Selama ini lo terlalu terobsesi sama dia, Land. Lo terus berpikir kalo lo nggak bisa hidup tanpa dia. Padahal, sebenarnya lo mampu dan bisa. Tapi lo terlalu pengecut buat terbebas dari pemikiran lo sendiri."
Mendengarnya sontak saja Aland menoleh pada Sandy. Keningnya berkerut dalam memikirkan apa maksud dari ucapan tadi.
"Lo sadar nggak sih? Nggak ada seorang pun yang bakalan selalu ada buat kita. Yang datang pasti pergi, Land. Bahkan orang yang paling lo sayang sekalipun bisa pergi jauh tanpa lo duga." Sandy kembali mengeluarkan suara.
Aland menghela napas kasar. "Tapi, gue nggak pernah mau kehilangan dia, San."
Punggung Sandy bergetar karena tertawa geli. Aland memutar bola mata jengah kembali menatap langit senja.
"Sayangnya dia udah jadi mantan, Land. Bahkan dia nggak mau 'kan ketemu lagi sama lo?" ucap Sandy dengan nada sindiran. "Lo nggak mau kehilangan dia tapi lo nggak takut kehilangan diri sendiri."
Aland mendengkus kesal melipat tangan di depan dada. Sepertinya berbincang dengan Sandy menjadikannya sasaran empuk perkataan pedas dari cowok itu.
"Gue kehilangan lo yang dulu. Aland yang gue kenal itu pecicilan, seru banget orangnya. Tapi, kenapa sekarang gue nggak liat Aland itu dari diri lo?" ungkap Sandy mengeluarkan pemikirannya mengenai saat pertama kali bertemu Aland di Bandung.
Aland bungkam seraya mengendikikan bahu.
"Itu karena lo nggak kasih diri lo bahagia, Land. Lo terlalu sibuk ngejar dia yang lo lepas sendiri. Diri lo juga butuh bahagia, Land. Tapi, sumber kebahagiaan bukan cuma dia. Lo jangan terpaku sama satu orang. Buka mata lo lebih luas," tegas Sandy menepuk bahu kiri Aland.
Penurutan Sandy sukses membuat Aland semakin tertohok. Semua yang dikatakan tidak lantas langsung diterima baik oleh Aland. Sebagian hatinya menganggap bahwa perkataan Sandy itu benar, tetapi tidak sepenuhnya.
"Lo bisa bijak juga ternyata? Padahal lo lebih bobrok daripada gue," celetukan Aland membuat Sandy seperti mendapat tamparan balik.
Namun, ternyata Sandy malah tertawa keras. "Karena gue nggak mau lo bobrok kayak gue. Gue mau berubah, Land. Udahlah, nggak usah bahas masalalu."
Aland tersenyum devil. "Gue rasa lo yang dari tadi bahas masalalu."
Setelah mengatakan itu Aland berlalu masuk ke dalam kamarnya. Melangkah menuju lemari lalu mengeluarkan tas ransel besar dari dalam lemari. Tangannya bergerak memindahkan sebagian pakaian yang ada ke dalam ransel hitam.
Di bawah lipatan baju terbawah Aland terpaku saat tangannya mengenai sebuah kotak kado bewarna biru muda. Tanpa berpikir panjang dia mengambil kotak tersebut lalu membukanya.
Sebuah bandana biru langit cantik terpampang dalam kota itu. Aland menghela napas panjang untuk kesekian kali.
"Gue belum sempat kasih kado ini ke lo, Sha," bisiknya seraya menatap bandana itu dengan tatapan kosong.
Benar kata Sandy, dirinya telah jauh berubah. Namun, Aresha pun jauh berbeda seperti saat mereka bersama. Diam-diam Aland selalu memperhatikan dari kejauhan. Sosok periang yang asik diajak becanda berganti dengan sosok pendiam yang tak banyak bicara.
Sandy berdehem. Kini bahunya bersender pada lemari. "Lo jadi balik ke Bandung?"
Aland langsumg menutup kembali kotak tersebut saat menyadari kedatangan Sandy. Ia kembali merapihkan barang-barangnya kedalam ransel. "Jadi. Ayah sama Ibu udah balik dari Singapura. Gue disuruh mereka balik ke Bandung. Kalo mereka nggak maksa gue mana mau balik lagi."
Sandy mengangguk tenang. Setidaknya ada orang yang dapat menjaga Aland di Bandung. Meskipun ia tahu bahwa orang yang Aland panggil dengan sebutan 'ayah ibu' itu bukanlah orangtua kandung sahabatnya.
"Kapan lo berangkat? Sekolah lo gimana?" Sandy kembali bertanya.
Aland menyimpan tas ransel itu di pojok ruangan. Setelah itu ia merenggangkan punggungnya dengan berbaring di atas tempat ridur. "Ya, gue beresin dulu sekolah di sini sampai bagi rapot. Soal itu diatur bokap."
Sandy mengangguk-anggukan kepala. "Lo harusnya bersyukur masih ada mereka, Land. Lo nggak benar-benar sendiri kek gue."
Aland seketika duduk bersila di atas tempat tidur. "Lo punya gue, San. Gue udah anggap lo abang gue yang super duper bawel. Thanks ya."
Sandy terpaku. Baru kali ini ia melihat Aland kembali tersenyum tulus dengan binar di kedua matanya. Sandy melemparkan bantal tepat mengenai wajah Aland. "Bisa juga lo bilang makasih?"
Aland kembali bertampang datar. "Gue tarik lagi ucapan tadi."
Sandy kembali melemparkan bantal yang tersisa pada Aland. Setelahnya ia berlalu keluar dari kamar.
Aland langsung bangun mencari handphone yang sebelumnya ia lempar karena kesal. Matanya membola saat membaca pesan masuk teratas yang terpampang di layar.
Rencana udah gagal. Lo nggak becus banget jadi orang. Anggap aja kita nggak pernah ketemu. Jangan sampai lo bawa-bawa gue lagi, dan lo nggak perlu hubungin gue lagi. Lo ganggu!
Aland menggeram kesal. Tangannya menggenggam ponsel dengan kuat. Tatapan tajamnya kembali menyalang tampak sangat emosi.
"Munafik!"
~●●●~
TBCHallo ^^
Apa kabar kalian? Jaga kesehatan, ya.
Gimana sama part ini? Ada kritik atau saran? Cus, comment ya.
Kira-kira orang yang dimaksud sama Aland siapa hayo?
Sorry for typo
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
Vote ✩ and comments!Salam hangat
Risyyu ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Jutek Vs Raja Bego (Completed) √
Fiksi Remaja[ JANGAN LUPA FOLLOW YA ] ※_______________※ Jika mungkin kebanyakan wanita terpesona oleh cowok super keren dan pintar, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan Marshel? Seorang cowok pecicilan, tukang gombal, terlampau percaya diri, dan telah kehilang...