Jangan lupa vote ✩ dan comments ya pembaca yang baik ♡
Adanya, tidak dihargai.
Hadirnya, selalu dibenci.
Perginya, apakah dapat membuat dia sadar akan ketulusan hati? Atau mungkin tetap bersikap seolah tidak peduli?~●●●~
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aresha melihat jam dingding berukuran besar yang ada di cafe, pukul 17.15. Hampir dua jam lebih dia berada di tempat itu.
Kepala Aresha menoleh kanan kiri. "Naraya kemana ya? Lama banget."
Adimas menarik pandangan dari layar handphone. "Iya juga, lama banget dia."
Aresha mengangguk cepat. Meskipun tidak nampak jelas Aresha mulai merasa tidak nyaman jika hanya berada dengan seorang cowok yang belum lama dia kenal. Berbeda halnya saat tadi mereka membahas sebuah buku ciptaan Adimas, cewek itu tampak sangat antusias.
"Ekhem," Adimas pura-pura terbatuk membuat lamunan Aresha buyar. "Btw thanks, Sha. Lo udah mau baca buku gue."
Seulas senyuman terlukis di wajah Aresha. Bagaimana pun dia tidak bisa mengelak jika Adimas memanglah cowok berbakat. Terutama dalam bidang tulis menulis. "Iya, harusnya gue yang bilang makasih. Bisa bahas novel, dan ternyata lo yang nulis."
Mendengar itu lantas saja membuat senyum Adimas refleks mengembang. Ternyata Aresha tidaklah secuek yang ia kira. Hal itu tentu membuat sebuah rasa mencuat tanpa diduga.
"Liburan kali ini lo ada rencana kemana, Sha?"
Aresha menyimpan gelas yang berisi hot chocolate kesukaannya. Punggungnya bersandar pada sofa sambil berharap Naraya lekas kembali. "Belum tau. Kayaknya gue di rumah aja. Kesempatan buat santai di rumah, baca novel pasti seru."
Adimas mengangguk, tangannya bergerak mengetuk-ngetuk meja layaknya tengah memikirkan sesuatu. "Kalo gue izin nulis pakai nama lo apa lo kasih izin, Sha? Gue bakalan bikin lo jadi cewek tokoh utama. Gimana menurut lo?"
Mata Aresha mengerjap. Namun, beberapa detik setelahnya ia membalas tawaran Adimas dengan anggukan. "Boleh kalo lo mau, Dim. Gue doain deh semoga lo lancar nulisnya."
"Aamiin. Gue pasti lancar kalo bayanginnya muka lo, sha," ucap Adimas terdengar serius di telinga Aresha.
Cewek itu bingung harus menjawab apa. Dia hanya terdiam setelah tersenyum kikuk. Menolak terjalin kontak mata dengan sosok yang duduk di sebrangnya dan hanya dibatasi oleh sebuah meja.
Tidak lama dari itu untung saja Naraya cepat datang. Setidaknya dia tidak merasakan canggung yang berlebih. "Lo lama banget sih, Nar?"
Naraya tersenyum menampilkan deretan giginya. "Iya, sorry. Tadi di kamar mandi nganteri. Kamar mandi cuma ada dua, pengunjung banyak kek gini , gimana nggak nganteri coba ?"
"Iya udah, Nar. Nggak usah ngedumel lo." Adimas tertawa pelan melihat raut masam Naraya.
Aresha kelabakan mencari ponselnya. Di saku celana dan kantong kecil tidak dia temukan. Alisnya bertaut bingung.
"Kenapa, Sha? Lo nyari apa?" Adimas menyuarakan rasa penasarannya.
"Handphone gue. Kalian liat nggak? Kok di sini nggak ada sih?" ucap Aresha masih terus mencari di dalam tasnya.
"Setau gue lo dari tadi nggak bahwa handphone, Sha. Lo 'kan tadi buru-buru. Mungkin ketinggalan di rumah, Sha." Naraya berucap mengingatkan membuat Aresha langsung menoleh ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Jutek Vs Raja Bego (Completed) √
Teen Fiction[ JANGAN LUPA FOLLOW YA ] ※_______________※ Jika mungkin kebanyakan wanita terpesona oleh cowok super keren dan pintar, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan Marshel? Seorang cowok pecicilan, tukang gombal, terlampau percaya diri, dan telah kehilang...