●|Trapped in a maze of decisions. Exhausted by all the different chaos. We've wandered around, looking for the answer. Lost in the maze, in the darkness|●
Hamparan laut terbentang luas didepan matanya. Jimin terduduk diatas pasir putih senja itu. Sesekali sudut bibirnya akan mengukir senyum yang kelewat canggung.
Entahlah, agaknya ini sudah sepuluh tahun berlalu sejak Jimin masih mampu menutupi rasa sedihnya. Well, ia tak lagi punya tenaga untuk sekedar menyunggingkan senyum seperti dulu. Jimin benci senyuman palsunya sendiri.
Celana yang dikenakannya telah basah hingga sebatas lutut, namun Jimin tak punya niatan untuk kembali ke Penginapan untuk mengganti pakaiannya.
Tangannya mengenggam pasir yang kelewat lembut itu. Lalu, membiarkannya terjatuh disela-sela tangannya. Kala mentari bersembunyi diujung pantai, digantikan oleh sinar rembulan yang tak kalah terangnya. Jimin termenung.
Apa, matahari dan bulan tak punya kesempatan untuk saling bertemu?
Ah, dia mendadak jadi melankolis begini. Nyatanya, hampir sepuluh tahun dia meninggalkan kehidupannya di Seoul, Jimin tak pernah bisa menghilangkan bayangan pemuda itu dari kepalanya.
Suara Jungkook, rupanya, hingga sikapnya yang tak ada baiknya sama sekali terus saja terngiang dikepalanya. Dia jadi mempertanyakan dirinya sendiri, apa yang membuatnya bisa mencintai Jungkook hingga sejauh itu?
Manakala ia sibuk memandangi pemandangan sunset didepannya, pengunjung yang lain telah lebih dulu meninggalkan kawasan pantai. Menyisahkan sosok Jimin dan seorang pemuda yang ikut berdiri dibelakangnya.
Tubuh tegapnya yang terbalut kemeja putih itu berdiri kokoh seraya menunggu si manis untuk beranjak dari duduknya. Well, suasana diam begini adalah kondisi yang biasa. Ia tahu jika Jimin teramat sulit untuk membuka hatinya bagi orang lain. Pun, untuk sekedar berinteraksi.
"Kau yakin ini pergi kesana?" Suaranya memecah lamunan Jimin yang semulanya terpaku pada bunyi ombak yang mendebarkan hatinya.
Jimin mengangkat bahu, "Aku tak punya pilihan," dan menjawab seadanya hingga pria itu mencibir. Itu bukan jawaban yang diinginkannya.
"Kau bisa menolaknya, omong-omong." Kata pria itu lagi yang kini beralih mengulurkan tangannya pada Jimin.
Manik keduanya saling bersiborok, dan Jimin menatap lama tangan yang terjulur dihadapannya. "Entahlah, hanya itu yang bisa mengalihkanku."
Ia bangkit dari posisinya dengan dibantu oleh pria itu. Yah, Jimin cukup sadar jika pria itu tak lagi dalam kondisi baik untuk menemani acara melamunnya. Keduanya berjalan bersisian, tanpa alas kaki yang mengikuti.
"Kapan jadwal keberangkatanmu?" tanya pemuda bersurai hitam itu guna memecah keheningan yang ada.
Jimin meletakkan jari telunjuknya didagu, berusaha berpikir dengan gayanya sendiri. "Kurasa satu minggu lagi," jawabnya kurang yakin atas apa yang ia lontarkan barusan.
Pria itu mengacak surai blonde Jimin dengan gemas. "Lakukan persiapan yang matang, Afrika Selatan bukan negara yang mudah ditangani," sarannya yang dibalas dengan anggukan kecil dari si mungil.
●●●
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.