Matahari nyaris tenggelam di ufuk barat, namun Jimin seolah enggan untuk beranjak dari rumah abu dimana tempat ia bernostalgia akan Ayahnya. Manik berwarna cokelat itu bersembunyi dibalik kelopak matanya, pun tubuhnya kini bersandar pada dinding dengan tangan terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya.
Pikirannya melayang jauh akan beban hidup yang kini ditanggung sendiri olehnya. Ia tak lagi perlu untuk berpura-pura menyukai Jaehyun, terlebih Jungkook, cinta lamanya telah kembali. Agaknya, Jimin berpikir sudah waktunya untuk kembali membuka hati terlebih sang mantan kekasih terlihat begitu serius dengannya.
Namun, terbesit rasa takut di dalam hatinya. Mengingat betapa dulu dia begitu menggilai Jungkook, namun justru hanya menorehkan rasa sakit di dalam hatinya. Pemuda Park itu rasa, ia masih butuh Jaehyun disisinya untuk membuang jauh-jauh pemikiran kembali bersama Jungkook untuk merajut kasih.
"Kukira tidak akan bertemu denganmu disini," derap langkah perlahan mendekat kearahnya seiring dengan suara lembut yang menyapa. Jimin sama sekali tak bergerak, meskipun langkah pemuda itu terhenti tepat dihadapannya.
Jimin tak bergeming. Helaan nafas terdengar melalui celah bibirnya, sesekali pemuda Park itu akan mengacak surainya akibat rasa frustasi yang menghampirinya.
Ia tak sepenuhnya salah.
Jimin terlalu sulit untuk jujur pada sang mantan kekasih, sebab terus saja dibayangi akan kembali ditinggalkan. Ia telah hidup seorang diri sekarang, dan jika Jungkook memang berujung untuk kembali menyakitinya, Jimin tak tahu akan sekacau apa hidupnya.
Karena Jimin yang tak bereaksi atas ucapannya barusan, Jaehyun memilih untuk menghampiri tempat dimana abu milik Ayah Jimin berada. Manik pemuda itu menatap dalam pada sebuah foto berbingkai yang berada di depan lemari kecil itu.
Meskipun Tuan Park telah meninggal, namun Jaehyun merasa jika dia turut bertanggung jawab akan hidup Jimin. Pun Ayahnya tak lagi memberikan tekanan padanya untuk segera menikahi Jimin, tapi Jaehyun tak bisa untuk mengabaikan eksistensi Jimin begitu saja.
Walaupun ia telah kalah telak oleh seorang Jeon Jungkook, namun Jaehyun tak akan pergi sebelum Jimin sendiri yang memintanya untuk menyerah.
"Semalam aku ke apartemenmu," ia kembali beralih pada sosok Jimin.
Ingatannya kembali pada kejadian dimana dia memasuki apartemen Jimin yang kelewat sepi kala itu──well, Jimin memang memberi akses lebih untuk Jaehyun dalam berkunjung ke tempatnya──dan ia hanya berakhir dengan singgah sesaat tanpa bisa bertemu lelaki manis itu.
"Aku menginap di rumah Jungkook," balas Jimin lirih dengan mata memandang jauh pada dinding di hadapannya. "Harusnya, aku tidak boleh begini."
Jaehyun tersenyum lembut. Tangan miliknya mengelus surai pemuda itu tanpa bisa dikontrol. Yeah, siapapun bisa tahu jika keduanya masih saling menyimpan rasa. Namun, agaknya Jimin masih ragu untuk kembali menyerahkan hatinya pada Jungkook.
Meskipun Jimin tak pernah bercerita akan kisahnya bersama pemuda Jeon itu, tapi Jaehyun bukanlah pria bodoh yang bisa mempercayai sandiwara Jimin kala keduanya berinteraksi di restoran waktu itu.
Sorot matanya memang penuh benci, namun Jaehyun dapat memahami jika Jimin bahkan tak sepenuhnya bisa membuang pemuda Jeon itu jauh-jauh dari pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Maze [KM]
Fanfiction●|Trapped in a maze of decisions. Exhausted by all the different chaos. We've wandered around, looking for the answer. Lost in the maze, in the darkness|●