°40

802 138 20
                                    

Sudah seminggu Jeno tidak kuliah dan bekerja. Jika dia tidak pergi sekarang, dia akan kehilangan dua-duanya. Tentu saja dia tidak peduli, dia bisa saja mendapatkan uang lebih menggunakan caranya yang lain, namun dia tahu Mark pasti tidak akan suka.

"Aku hanya akan pergi ke kelas pagi dan bekerja shift siang. Kau tetap di sini ya? Jangan berkeliaran."

Mark hanya mengangguk. Jeno mencium tangan Mark dan Mark mencium kening dan bibir Jeno. Setelah itu Jeno berangkat, meninggalkan Mark yang terlamun di rumahnya.

Mark tak tahu harus berbuat apa. Dia cukup lama di sana, namun dia masih tetap merasa asing.

Untuk menghilangkan keasingan itu, Mark memutuskan untuk berkeliling rumah Jeno yang ternyata lumayan besar itu. Dia pernah bertanya pada kekasihnya itu, dengan siapa dia tinggal. Jeno hanya mengangkat bahunya dan berkata bahwa hanya Ibunya yang dia punya selama hidup nya karena Ayahnya hilang entah kemana.

Jeno malang, pikir Mark. Dia tidak akan sendirian lagi sekarang. Ada Mark sekarang yang menemaninya dan melindunginya dari dunia luar.

Mark mengecek seluruh ruangan satu-satu. Hingga dia berhenti di satu ruangan yang ternyata dikunci.

"Tolong jangan buka pintu itu."

Mark menengok dan melihat seseorang. Seorang pria, lebih tinggi dari Mark. Menatapnya dengan senyuman.

"Tolong jangan buka pintu itu ya?" Ucap pria itu sekali lagi. Mark tak berkutik, tangannya masih menempel di kenop pintu.

"Memangnya kenapa? Kau siapa?"

"Oh, Jeno tidak memberitahu mu? Aku penghuni di atas. Ini bukan rumahnya sendiri."

"Begitu ya?" Mark merasa bingung. Kenapa Jeno tak pernah memberi tahunya? Bukankah ini hal yang penting?

"Siapa namamu?" Mark tersenyum, berusaha mendekat. Orang itu terkejut dan semakin mundur. Mark langsung berhenti ketika melihat orang itu semakin jauh.

"Ah, um. A-aku tidak penting, hanya housemate nya saja." Dia tersenyum.

"Begitukah? Tapi aku perlu tahu namamu.." Setidaknya untuk formalitas saja, Mark ingin begitu.

"Tidak usah. Kau juga mungkin tidak akan melihatku lagi..." Orang itu mengusap tangannya. Mark memiringkan kepalanya.

"Kenapa begitu?"

"Karena seharusnya aku tidak keluar dari kamarku." Pria itu tertawa kecil, pelan, tak terdengar. Ringan dan melayang, suaranya seperti hantu. Membuat bulu kuduk Mark berdansa. Mark mengangkat alisnya.

"Kenapa?"

Senyumnya.

"Aku takut padanya."

Menyakitkan.

You Send Me Right To Heaven [republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang