°45

919 123 18
                                    

Bayangkan mencintai seseorang hingga kau kehilangan kendali dan berbuat di luar akal sehat.

Itu terjadi pada Jeno.

Tapi apa dia akan terus menginginkannya?

Haruskah ada kata 'selesai' di sana? Haruskah ada akhir di semua perbuatannya?

"Maafkan aku, Jeno." Sebuah tangan merangkul tubuh Jeno yang kedinginan. Basah, kedinginan. Bajunya lusuh, sudah tidak berbentuk.

"MINTA MAAFLAH PADA TUHANMU!" Jerit Jeno padanya. Matanya membara marah. Dia bangun dan menerkam orang itu. "KUBUNUH KAU! KUBUNUH KAU!" Jeno meraih lehernya dan mencekiknya, memukulnya, melakukan semua dosa agar orang itu mati, menghilang, pokoknya musnah dari kepala Jeno.

Tapi tidak bisa.

Orang itu hanya menatap Jeno. Tatapannya iba, bahkan nyaris sedih.

"Kenapa kau tidak mau mati?!" Jerit Jeno pada wajahnya. Cengkraman di leher pria itu semakin mengeras. Lehernya membiru, tangan Jeno memerah. Sakit, bahkan Jeno merasakan sakit. Tapi tetap saja, orang itu hanya diam.

"Kau sudah melakukannya."

Jeno menatapnya kemudian menangis.

"Maaf Kak. Maafkan aku. Aku tidak sengaja.."



Jeno masih menangis di atas kasur.
Mark tidak peduli, sungguh. Mau dia berteriak dan menangis sekeras apapun, Mark tidak akan melakukan apapun. He can suck it up, like he would do it last night.

"Kau menghancurkan hidupku. Semuanya hancur."

"Apa salahku?" Jeno akhirnya bersuara. "Aku hanya menjalankan mimpiku. Aku ingin bersamamu terus. Apa itu salah?"

"Aku sudah muak dengan omongan busuk yang keluar dari bibir manismu."

"T-terserah kau!" Jeno terisak. Sakit. Semuanya. Sakit. "Laporkan aku! Apa kau berani?"

"Tenang saja," Mark mengangkat telepon genggam. "Aku paling berani di sini."

Wajah Jeno memucat. "Kau...tapi kau memperkosaku. Kau yang kriminal!"

"Tapi kau menikmatinya, dasar sakit." Itulah ucapan terakhir dari Mark sebelum dia pergi meninggalkan Jeno.

Mark melaporkan Jeno kepada polisi.

Meskipun terlihat sangat menyedihkan, Jeno tidak melakukan apapun. Dia tidak melakukan apapun untuk membela dirinya. Tidak melakukan apapun ketika para polisi membawa paksa dia dari rumahnya. Tidak melakukan apapun ketika sebuah kantung berwarna oranye digotong dari dalam rumahnya. Tapi ada satu hal yang membuatnya menangis.

Bau formalin itu. Tercium, menusuk masuk ke dalam indera penciumannya. Jeno akhirnya menangis juga. Terus saja menangis, menyalahkan dirinya.

Ketika dia sadar, Jeno sudah berada di dalam sidang. Mendengarkan seluruh tuduhan yang dilontarkan padanya. Badannya sakit, karena langsung dipukuli sehari setelah dia dimasukkan penjara.

Jeno ingat dimasukkan ke dalam penjara. Dia ingat menangis, dia ingat menjerit-jerit, dia ingat meminta tolong karena dia lecehkan dan disiksa di sana.

Seseorang menarik rambut Jeno.

"Berhenti menangis. Tidak akan ada yang menolong mu di sini. Kau ada di bawah ampunan kami."

Jeno tetap tegar. Dia percaya bahwa Mark mengingatnya. Mark pasti datang menjemputnya.

Tapi Mark tidak pernah muncul. Dia tidak pernah..

Jeno meringis kesakitan ketika merasakan rambutnya ditarik ke belakang. Kepalanya yang sedari tadi menunduk terpaksa mendongak, melihat tatapan dingin dari hakim.

"Lee Jeno. Kau dituduh atas pembunuhan enam pria dan satu wanita atas nama Wong Lucas, Lee Haechan, Kim Doyoung, Lee Taeyong, Na Jaemin, Huang Renjun dan Ko Eun. Kau juga membunuh anggota keluargamu, yaitu Kakakmu yang bernama Lee Johnny, dan juga mencongkel mata Ibumu. Kau juga melakukan penculikan dan penyekapan terhadap pria bernama Mark Lee hingga dia mengalami trauma. Adakah yang ingin kau sampaikan kepada hakim?"

Karena Jeno juga sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak.
Juga tidak ada gunanya mengelak karena dia tidak akan diselamatkan.
Dan juga tidak ada alasan untuk hidup. Jeno hanya tersenyum.

"Semua itu benar. Kecuali satu."

Jeno melirik ke arah belakang. Meskipun dia tidak pernah datang di dalam masa-masa kesengsaraan Jeno, dia tahu pria yang dicintainya datang hari ini. Dia tahu Mark sedang berada di dalam ruangan itu, diam. Diam dan merutuki dirinya agar cepat mati dan membusuk di dalam tanah. Dia tersenyum meski tak dapat menemukannya.

"Aku mencintai Mark, dan dia mencintaiku."

.

.

.

Ready for the last chapter?

You Send Me Right To Heaven [republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang