CHAPTER 27 | Pistol Terakhir

1.1K 309 71
                                    

CHAPTER 27 | Pistol Terakhir

×××

Setelah berkendara kurang lebih empat puluh lima menit, mobil Minho berhenti di pekarangan rumah Seungmin dan Hyunjin. Wilayah Highland yang terdiri dari bangunan jarang-jarang membuat jarak penginapan terdekat yang ia sewa dengan Han pun lumayan jauh untuk ditempuh.

"Minho, kenapa lo nyuruh Hyunjin buat kesini juga?" celetuk Han begitu mesin mobil mati dan ia tengah mengecek ponselnya yang terhubung dengan semua akses privasi ponsel Minho, yang dibuat sedemikian rupa untuk mereka berkomunikasi tanpa ada yang bisa ditutup-tutupi dengan tujuan menghindari penghianatan. "Pake nyuruh dia bawa pistol buat jaga-jaga?"

Yang lebih tua menoleh pada Han sebentar, sebelum tersenyum tipis seolah sedang menenangkan partner kerjanya. Manik melirik pada spion, mendapati mobil lain tengah mendekat ke tempat parkir yang sama.

"Kita masuk dulu."

Jawaban singkat Minho berhasil memancing kuriositas Han semakin tinggi, tapi ia benar-benar tidak bisa mengelak atau memprotes apapun lagi karena sedikit merasa bersalah pada Minho yang notabene adalah salah satu agen terbaik di FBI, berbanding jauh dengan dirinya yang baru diangkat ke tim inti beberapa bulan yang lalu.

Satu hal yang selalu Han pertanyakan adalah, mengapa agen sehandal Minho belum dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi lagi sejak tiga tahun lalu.

Dengan langkah tenang, kedua laki-laki itu masuk ke rumah yang terlihat lebih kacau dari biasanya. Sama sekali tidak terasa seperti tempat tinggal pasangan agen CIA—tidak ada perlindungan khusus, pendeteksi orang asing, atau hal-hal proteksi lainnya.

Minho tidak bisa untuk tidak mengangkat sebelah bibir, menyadari betul bahwa penyebab kekacauan ini tidak lain tidak bukan adalah mulai meretaknya hubungan Seungmin dan Hyunjin itu sendiri.

"Seungmin?"

Han mengetuk pintu yang sebenarnya tidak dikunci, ragu-ragu untuk menyentuh gagangnya. Minho memutar mata ke samping lagi untuk memeriksa posisi mobil yang masih melaju menuju halaman rumah, sebelum kemudian menyenggol siku Han pelan.

"Lo udah akrab banget kan sama dia? Masuk aja langsung." titah Minho, yang tentu saja menghasilkan sebuah persetujuan instan dari pihak satunya.

Mereka masuk dan Han melangkah di depan Minho kendati jantungnya berdebar kencang. Ia tidak suka berada di situasi ini, dimana ia bahkan tidak tahu lagi harus memihak siapa jika disuruh memilih. Seungmin sedang bersedih dan ia adalah salah satu penyebab utamanya. Misinya mungkin berhasil tapi kedekatan yang dihasilkan oleh kegiatan beberapa harinya di sini dengan Seungmin sejujurnya agak mengganggunya untuk membuat keputusan.

"Ng, kita kesini buat nemuin Seungmin? Coba gue lihat di kamar, gimana?" tawar Han kemudian setelah Minho diam selama beberapa detik, hanya melangkah lamat-lamat ke ruang tengah sambil mengamati sekeliling rumah.

"Nggak usah, panggil aja dari sini." tolak Minho, matanya memicing ke satu arah. "By the way, apa ada pintu belakang yang langsung mengarah keluar?"

Semakin detik semakin mencurigakan pula tingkah Minho. Han tidak punya daya untuk bertanya lebih lanjut. Ia hanya bisa mengangguk, menunjukkan jarinya ke salah satu pintu yang terletak di samping dapur.

Minho hanya membalas dengan anggukan sementara Han masih berusaha memancing Seungmin untuk muncul.

"Seungmin? Lo nggak apa-apa, kan?"

Mungkin di telinga Minho, pertanyaan Han barusan hanya terdengar seperti umpan atau sekadar basa-basi tidak penting. Meski begitu, bohong jika Han bilang tidak ada sedikit rasa simpati dan khawatir berlebihan yang sebenarnya memang mengurat nadi dalam dirinya sejak kemarin.

𝙙𝙧𝙤𝙣𝙚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang