2 - B & The Brothers

383 35 0
                                    

Jadi ceritanya, akutu kolab sama rie kusuma buat nulis cerita ini.

Aku tulis bab ganjil, dia tulis bab genap. Aku bikin karakter Abby dia bikin karakter Bria.

Kalo kalian rada bingung apa sih hubungan dua orang ini, itu artinya kalian harus baca terus cerita ini.

Nah, bab ini yang nulis partnerku jd pasti feelnya bedalah ya sama bab 1. Hehe...

______________________________
______________________________

Gedung serba guna yang menyempil di antara ratusan gedung pencakar langit malam itu terus disesak-desaki anak-anak muda berpakaian senada. Celana-celana ketat dengan sobekan di beberapa tempat, jaket penuh emblim, kaus berwarna pekat bergambar grup band kesayangan atau penuh kata-kata pemberontakan. Kepala-kepala dengan beraneka model rambut sewarna gulali berseliweran di depan pintu masuk dengan banner besar di bagian atasnya bertuliskan 'United Benhur Underground 3'. Musik ingar-bingar menghentak-hentak dari dalam ruangan membuat tak sabar wajah-wajah berkeringat penuh tindikan dan tato yang menyebar di seantero bagian tubuh yang masih mengantre di pintu gerbang. Kaki-kaki kurus mereka yang terbungkus sepatu bot dan sneakers ikut bergerak-gerak mengikuti irama lagu yang sedang dimainkan. Panitia yang menjaga pintu gerbang menempelkan cap-cap di leher sebagai tanda masuk ke sekelompok pemuda tanggung dalam antrean yang memakai jas super ketat dan menjinjing koper penuh tempelan stiker entah berisikan apa. Mereka nyata sekali berusaha menarik perhatian kelompok lain dengan atribut yang mereka kenakan.

Bria dan teman-temannya ada di antara mereka yang telah lebih dulu berada di venue. Sambil menunggu giliran band-nya tampil, gadis itu menyusup di antara puluhan manusia, merangsek maju menuju Mosh Pit di bibir panggung. Bersama orang-orang yang tak ia kenali, Bria bergoyang, melompat-lompat, saling sikut, saling dorong, saling menabrakkan diri, berpogo-pogo dalam gerak cepat seirama musik punk yang menghentak dari atas panggung. Suara sang vokalis menggelegar memenuhi udara yang sudah pekat oleh asap rokok dan aroma tengik keringat manusia. Bersamaan lagu yang telah mencapai klimaksnya sebuah tangan menepuk keras pundak Bria membuat gadis berambut mohawk dengan warna biru menyala itu menoleh cepat. Seorang pemuda kurus berjanggut tipis dan rambut di-bleach berpotongan pendek, sambil setengah menunduk ke arah rekannya menunjuk ke arah panggung sementara sebelah tangannya menangkup di sisi mulut membentuk corong, sedikit berteriak untuk mengatasi kebisingan.

"Mereka satu lagu lagi, habis itu giliran kita!"

Bria mengangguk singkat. Langkah kakinya berjingkat mengekor si pemuda yang berjalan lebih dulu membelah kepadatan arus manusia yang berkerumun di depan panggung sambil sesekali mendorong dan menyikut tubuh-tubuh berpeluh di jalur yang menuju arah belakang panggung. Ruangan yang diset seperti di dalam gua dengan kain-kain hitam menutupi seluruh dinding dan langit-langit menjadikan penerangan di sekitar remang-remang. Satu dua kali Bria menyandung bahkan menginjak kaki-kaki berbalut Doc Mart, mengundang desis tajam yang dibalas Bria dengan belalakan matanya yang ber-smokey eyes. Setetes keringat menggantung sebentar di anting yang mengait di alis kirinya sebelum meluncur jatuh dan lenyap dalam gelap, menyusul tetes-tetes keringat lain yang berjatuhan dari sekujur tubuh gadis ber-skinny jeans dengan koyakan besar di bagian lutut tersebut setelah aksi goyang badannya beberapa menit yang lalu.

Suara vokalis band punk di atas panggung tampak mengarahkan crowd untuk memecah bagian menjadi dua kubu sebelum lagu selanjutnya dimainkan. Bria paham, akan ada Wall of Death, salah satu jenis moshing yang mulai jarang dilakukan karena termasuk jenis moshing yang ekstrim dan berbahaya. Dada Bria berdesir, bibirnya menyungging senyuman samar. Ia merasakan gairahnya berpendar-pendar. Ia suka tantangan dan sebentar lagi akan ada sesuatu yang menantang.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang