24 - T R A G E D I

126 14 0
                                    

Jam sebelas malam. Bria semula ingin tidur saja di mess gudang setelah kembali dari Bandung seusai mengirim barang ke kota kembang itu, tapi Mas Ipung yang menemani Bria, menawarkan diri menggantikan gadis itu menyopir saat mereka melintasi daerah rumah Bria. Kata Mas Ipung, jadi gadis itu bisa pulang ke rumah dan beristirahat dengan nyaman, tak harus menghabiskan malam di mess gudang yang sering kali gaduh oleh suara-suara sopir dan sekuriti yang biasa bergadang sampai Subuh.

Sebuah pesan masuk. Bria membaca dan membalas pesan WA dari Ayunda itu dengan cepat lantas memasukkan kembali telepon genggamnya ke saku celana jeans.

"Jangan bela terus anak setan itu! Dia, tuh, sudah benar-benar kerasukan! Lihat saja kelakuannya tempo hari. Bapaknya ini sampai babak belur dihajar dia!"

Dada Bria meradang mendengar teriakan sang ayah begitu ia membuka pintu depan. Hampir saja gadis itu membatalkan niat untuk tidur di rumah. Namun, suara lirih ibu membuyarkan keinginannya.

"Anak kita sampai kasar demikian, bisa jadi karena mencontoh dirimu, Pak. Bukankah kamu yang acapkali melakukan kekerasan padanya. Dan juga padaku." Suara ibu semakin memelan di ujung kalimat. Bria sengaja membanting pintu agar kedua orangtuanya mendengar kepulangannya.

"Nah, lihat anak setan itu! Lihat kelakuannya! Kalau tidak pulang malam, pasti pulang pagi. Sudah macam perempuan nggak bener! Heh, sudah jadi pelacur kecil kamu, ya?!"

Bria tak membalas sepatah kata pun teriakan sang ayah. Ia hanya memandang tajam saat melewati lelaki berkumis lebat itu yang membuat si lelaki merasa jeri. Gadis itu membuka pintu kamar dan membantingnya dengan kasar lalu melempar tas ransel ke pojok kamar. Buku-buku jemari gadis berambut biru itu mengepal menahan geram. Penuh amarah ia menendang pintu lemari sampai kayu rapuhnya membelesak.

Bria merogoh kantong celana, meraih telepon genggam pemberian Om Anwar tempo hari. Kata lelaki tambun yang ia panggil 'Pak' itu, untuk mempermudah komunikasi dalam urusan pekerjaan. Gadis itu membuka playlist, memilih menu favorites yang hanya berisi satu lagu yang otomatis akan memutar ulang tiap lagu tersebut selesai. Ia meletakkan telepon genggam tadi di atas meja seusai membesarkan volumenya lalu mulai memejamkan mata, merasakan kekuatan lagu tersebut mulai merasuki dada. Keheningan malam yang kian pekat membuat suara musik menerobos celah-celah pintu kamar, mengusik kembali amarah sang ayah.

"Dengar tuh, anak setan! Memang sengaja dia mau buat aku muntab! Sudah sepantasnya kalo setan alas itu kukirim saja ke neraka, biar bergabung sama kambrat-kambratnya!" Lelaki berwajah bulat itu lantas membuka-bukai lemari perkakas yang berada di sudut dekat pintu dapur, mengambil segulungan tali tambang.

"Pak, mau apa kamu, Pak?! Sadar, Paaakk!"

Sang ibu yang melihat suaminya menyeret langkah ke arah kamar putri mereka segera saja menggelayuti lengan sang suami, menahannya sekuat mungkin untuk menghentikan langkah lelaki yang tengah berada di puncak kemarahannya itu.

"Lepas, Sialan! Jangan bela terus anak setan itu! Biar kubunuh saja dia sekalian!"

Lelaki berkumis lebat dengan wajah bulat itu mendorong istrinya sekuat tenaga. Tubuh ringkih itu terjerembap dan pingsan seketika setelah sebelumnya kepala perempuan malang itu terantuk pinggiran meja makan dengan sangat keras. Tak ambil peduli, sang suami mendobrak pintu kamar sang anak, mendapati Bria yang berdiri di depan meja langsung saja berbalik dengan sikap waspada.

"Anak setan, sudah saatnya kamu mati! Biar nggak perlu lagi aku melihat mukamu!"

Lelaki yang telah hilang akal itu merangsek maju ke hadapan Bria. Tambang yang dibawanya di bentangkannya sejarak sehasta di antara kedua tangan. Bria yang membaca gelagat sang ayah mendorong kuat-kuat dada lelaki itu hingga terjatuh. Tali tambang terlepas dari tangannya.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang