Rumah bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas itu tampak asri dengan banyaknya tanaman aneka warna yang menyejukkan mata sejak Bria menjejakkan kaki di muka pintu gerbangnya. Dari sela-sela pagar rumah, mengintip batang-batang bugenvil berbunga merah, oranye, dan kuning. Pergola yang menaungi bagian atas gerbang dirambati Madagascar Jasmine berwarna merah muda yang tampak semakin cantik ketika tertimpa cahaya matahari. Pot-pot berisi aneka tanaman keladi berjajar di sepanjang jalan masuk yang ber-paving block. Keteduhan suasana semakin terasa begitu langkah Bria mulai mendekati bangunan utama. Coleus aneka warna dalam pot-pot besar dan kecil tampak sengaja diletakkan bergerombol di beberapa sudut hingga tampak penuh sesak, tapi begitu serasi dan memanjakan mata. Di teras rumah menggantung pot-pot bunga Petunia, Million Bells, dan Westeria. Bria mendekati rumah tersebut, menaiki undak-undakan lebar yang pada sisi kiri-kanannya diletakkan pot-pot Begonia, Geranium, dan Aglaonema. Bria mengenali semua jenis tanaman tersebut karena beberapa kali melihatnya dari majalah-majalah botani yang sesekali dibeli ibu, yang juga pencinta tanaman, di lapak buku bekas. Namun, kecintaan ibu tak berlanjut karena kesibukan kerja. Apalagi bapak acap kali marah-marah melihat halaman rumah mereka yang sempit jadi semakin sempit karena adanya beragam jenis tanaman. Suatu kali kala kemarahan bapak meluap, ia mencabuti semua tanaman koleksi ibu, menghancurkan pula pot-potnya dan membuangnya ke tempat sampah. Jadilah foto-foto tanaman di majalah menjadi penghiburan satu-satunya bagi sang ibu."Kenapa, Kak? Kok, dari tadi bengong terus?"
Ayunda yang sedari tadi mengekori Bria dan kini berdiri di sebelahnya menjawil lengan gadis itu membuat Bria terkesiap dari perasaan kagumnya pada pemandangan di sekitar. Ia menggeleng lantas tersenyum gugup ketika gadis berlesung pipit itu memencet bel yang ada di sudut kanan pintu masuk yang tertutup rapat.
Waktu rasanya berjalan lambat ketika menunggu pintu kayu berpelitur cokelat tua di depannya terbuka. Bria berpikir mungkin penghuninya sedang menikmati tidur siang dan agaknya ini waktu yang kurang tepat untuk bertamu. Bria sudah hampir merasa keputusannya tadi menolak ajakan Ayunda untuk ke rumahnya adalah tindakan yang tepat.
"Jangan hari ini, Yunda. Saya nggak enak kalau cuma sendiri."
Bria menolak halus. Siang itu mereka janjian di kedai minum samping Salon Laluna setelah hampir sebulan tidak bertemu sejak terakhir perjumpaan mereka di rumah Johar.
"Mumpung aku off, Kak. Lagian Kak B, kan, sibuk terus sama band-nya. Atur waktu buat ketemu lagi nanti susah."
Ayunda merajuk. Kedua pipinya digembungkan sementara bibirnya yang kemerahan mencebik. Bria mengelus sekejap pipi halus itu dengan ujung jemarinya.
"Ajak anak-anak, ya?" tawar Bria lagi.
"Kelamaan, ah. Basecamp kalian di Setia Darma, berkilo-kilometer dari sini. Nanti keburu Masku pergi. Dia yang paling penasaran sama sosok penyelamatku."
"Halah! Saya cuma kebetulan mampir waktu itu. Bukan hal besar."
Nggak sekadar mampir, karena sebelumnya Kak B sudah WA aku kalau mau datang buat retouch rambut. Maaf ya, Kak. Rambutnya jadi belum diapa-apain sampai sekarang. Tuh, udah berubah jadi biru kehijauan, kan. Nggak biru neon lagi."
"Nggak pa-pa. Malah keren, kan?" Bria terbahak sambil mengusap-usap rambutnya yang mirip surai kuda apabila tidak di-mohawk.
"Iya. Kak B memang keren. Jempol, deh, pokoknya."
"Waahh, jadi ini gadis jagoanmu itu ya, Dek?"
Bria tergugah dari lamunannya. Di hadapannya berdiri lelaki tertampan yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Mata tajam dinaungi sepasang alis lebat, garis-garis wajah tegas, rambut ikal bergelombang tersisir rapi, dan senyum itu ... senyum teramah yang pernah Bria lihat, memperlihatkan barisan gigi-geligi putih bersih. Saat lelaki itu mengulurkan tangan, Bria melihat betapa kuku-kuku jemari lelaki tampan tersebut juga sama bersihnya dan terawat rapi.
"Kenalkan, saya Mas-nya Ayunda. Nama saya ...."
"Siapa yang datang, Nang?"
Suara lembut datang dari arah ruang dalam menggelitik telinga Bria. Seorang perempuan paruh baya bertubuh kecil langsing memakai celana kain bercorak floral dan blus putih polos menghampiri mereka. Begitu telah dekat, Bria langsung melihat kemiripan antara Ayunda dan perempuan tersebut, dan juga memahami dari mana datangnya kecantikan yang dimiliki Ayunda.
"Ini loh, Mam. Jagoan cantik yang sering disebut-sebut Adek."
Bria melirik ke arah lelaki yang dipanggil Nang tadi. Lelaki itu ternyata juga sedang menatap ke arah dirinya membuat Bria lekas menunduk dengan perasaan jengah. Dan entah mengapa tiba-tiba saja jantungnya berdegup sangat kencang. Bria belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Bernyanyi di hadapan puluhan bahkan ratusan orang saja tak pernah membuatnya segugup sekarang. Namun, di hadapan lelaki yang baru dikenalnya beberapa menit, belum-belum jantungnya seakan mau copot.
"Halo, Nak Bria. Saya mamanya Ayunda. Terima kasih, ya, atas bantuanmu ke anak Tante tempo hari. Entah apa jadinya Ayunda kalau masih kerja di sana. Tadinya Tante juga ndak tahu kejadian apa saja yang sudah menimpa dia sebelumnya. Habis, Ayunda tuh orangnya tertutup sama keluarga. Dia ndak mau bikin orangtua dan Mas-nya khawatir. Jadinya ya, ndak pernah cerita. Coba kalau cerita, sudah Tante bawakan polisi saja ke salon itu, biar masuk penjara sekalian si Milo. Ini pun Tante sama Om sudah gemes mau bawa kasus Ayunda ke jalur hukum, tapi Mas-nya ini malah melarang. Yang sudah terjadi ya sudah. Toh, si Milo sudah kena batunya. Ini juga pelajaran buat Adek agar kali lain harus lebih terbuka sama orangtua dan Mas-nya. Gitu katanya Si Nang, Nak Bria."
Bria mengangguk-angguk sambil tersenyum canggung lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Satu lagi kesamaan yang ia lihat antara Ayunda dan mamanya, yaitu sama-sama senang bicara alias bawel. Bria melirik ke arah anak si Tante yang lebih tua, mengira-ngira apakah lelaki itu sama bawelnya dengan dua perempuan di depannya. Ternyata si lelaki tampan lagi-lagi ketahuan sedang memerhatikan dirinya sambil tersenyum-senyum dengan pandangan mata yang tak bisa Bria lukiskan maksudnya, tapi kembali membuat dadanya menggelenyar.
"Diajak duduk dulu tamunya, dong, Mam. Mosok dibiarin berdiri dari tadi."
"Ealaahhh, iya iya. Mari, Nak Bria. Ngobrolnya kita teruskan di dalam saja, ya. Eh, Dek, ambil minuman sana buat tamu istimewa kita. Jangan cuma air putih. Itu tadi Mama dapat kiriman sirup markisa dari Yangti . Pakai gelas besar bikinnya, kasih es batu yang banyak. Enak itu, diminum siang terik begini.
Nak Bria, kamu masih lama, kan, main di sini? Nanti sekalian saja ikut makan malam, ya. Coba datangnya pas jam makan siang, Tante tadi bikin gudeg yogya, resep turun-temurun keluarga. Rasanya jempolanlah, Tante berani jamin. Oh iya, Om baru nanti sore pulang kerja, beliau pasti pengin kenalan juga sama kamu. Si Ayunda itu, kan, anak kesayangan papanya. Maklum bungsu, jadi dapat perhatiannya lebih banyak. Tapi biar bungsu begitu, Ayunda itu mandiri, lo. Begitu lulus SMA langsung saja bilang mau kerja dulu sambil nabung buat biaya kuliah. Katanya nggak pa-pa telat kuliah setahun, biar Mas kelar dulu kuliahnya. Jadi, Mama Papa nggak repot membiayai dua anak sekaligus. Begitu katanya. Duh, dewasa sekali ya jalan pikirannya anak itu. Padahal ya, Om Tante masih sanggup membiayai kuliahnya. Tante sampai sekarang masih suka terharu kalau teringat omongannya waktu itu."
Bria merasa kepalanya pening. Bukan karena rentetan kalimat perempuan cantik paruh baya yang terus menggenggam jemarinya ketika telah berhasil menariknya menuju ruang keluarga dan duduk bersisian di sofa empuk bermotif bunga-bunga kecil. Namun, karena lelaki berambut indah dengan senyuman menawan itu yang terus saja menatapi wajahnya sambil tersenyum penuh arti. Bria tak tahu harus bersikap bagaimana selain berusaha mengacuhkan si lelaki tampan. Apa pula ini yang terus saja berdentam-dentam dalam dadanya. Mengapa rasanya begitu nyaman dan menyenangkan? Siapa nama lelaki itu tadi ... Nang? Nang ... Nang. Bria seakan ingin terus menyebut nama lelaki yang baru saja dikenalnya tersebut.®
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTORSI
Mystery / ThrillerAbby, gadis 18 tahun korban KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri. Bria, gadis punk yang menyimpan rahasia kelam kehidupan keluarganya. Ketika Ayah Abby ditemukan mati gantung diri di kamar tidur Abby, tuduhan dan bukti-bukti mengarah pada g...