1 - M a n g k a r

831 59 7
                                    

Suara-suara.

Aku mendengar suara-suara. Bisikan, seperti ada orang yang bercakap-cakap dengan suara rendah. Atau sebenarnya mereka berbicara biasa hanya saja kesadaranku yang bermasalah? Entahlah. Kepalaku berat. Rasanya seperti dibenamkan ke adonan semen dan sedang mengering perlahan. Tubuhku juga dingin. Ujung-ujung kaki, telapak tangan, dan ada suara denging di dalam kepalaku yang sangat mengganggu. Apa mungkin seekor lebah bisa masuk ke lubang telinga dan mencari jalan agar bisa terbang berputar di dalam kepala?

Dulu Ibu pernah menakut-nakuti aku agar jangan tiduran di lantai. Ibu bilang nanti telingaku kemasukan semut dan mereka akan membangun sarang di kepalaku.

"Semut-semut itu akan menggerogoti otakmu perlahan-lahan hingga lambat laun kau akan jadi bodoh dan terbelakang."

"Tapi semut suka yang manis-manis dan otakku isinya bukan gula."

"Bodoh! Semut itu lebih suka sesuatu yang berbau amis. Seperti bau darah dan daging segar. Mereka akan melahap isi kepalamu dengan rakus. Kau pikir semut bisa hidup hanya dengan makan gula?"

Aku menggeleng. Tidak tahu. Saat itu aku tak paham kemana arah pembicaraan Ibu sebenarnya. Dalam bayanganku, semut berjalan masuk ke lubang telinga, lalu memasuki ruangan luas yang ternyata adalah otak dengan labirinnya yang berliku. Aroma amis menyeruak dan tentu saja seekor semut akan bersuka cita karena menemukan harta karun. Ia pun memberi sinyal dan memanggil kawan-kawannya untuk datang. Puluhan, ratusan, ribuan atau bahkan jutaan semut akan masuk ke telingaku untuk bersarang di dalam kepala. Membayangkan kepalaku akan diisi jutaan semut, membuat bulu kuduk berdiri dan aku berlari ke kamar mandi untuk merendam kepalaku ke dalam bak.

"Dasar anak bodoh!" Maki Ibu ketika melihat kelakuanku.

Ibu jadi sering memaki sejak Bapak tidak bekerja. Bukan hanya itu, banyak hal yang hilang dari Ibu ketika Bapak di pecat dari pabrik garmen tempatnya mencari nafkah. Mungkin Ibu lelah. Mungkin Ibu jenuh. Entahlah.

Ahh, suara-suara itu. Mengapa begitu bising? Tidak adakah seseorang yang bisa menghentikan suara-suara itu. Tubuhku tak bisa bergerak. Mataku tak bisa membuka. Kepalaku berat. Sungguh berat. Sulit untuk mengingat dengan baik hal-hal yang telah terjadi. Ingatanku hanya berupa potongan-potongan kejadian yang berkelebat acak. Tentang Ibu. Tentang Bapak. Tentang diriku. Dan ... tentang suara yang mengalun merdu. Suara yang akhirnya bisa kupisahkan dari suara lain yang bergaung di telinga.

Aku pernah mendengar suara itu. Lantunan orang mengaji! Ya, itu suara seseorang sedang mengaji. Aku pernah mendengar orang-orang mengaji di sekitar jenazah Bapak. Juga beberapa hari setelah Bapak dikubur. Apa artinya aku juga telah mati hingga ada yang mengaji untukku?

Tidak! Jangan! Aku tidak ingin mati. Aku tidak ingin bertemu Bapak lagi. Biar saja Bapak mati sendirian. Aku tidak mau menemani Bapak di akhirat. Tidak. Tidak. Tidak! Bangunkan aku! Bangunkannn!!!

"Pasien kelihatannya gelisah. Apa perlu panggil dokter?"

Seseorang bertanya. Seseorang menyadari keadaanku. Tolong! Tolong aku! Bangunkan aku! Bangunkan!!!

"Tidak perlu. Orang gila biasa begitu. Pikirannya lain dengan orang waras. Apalagi tidurnya?"

Gila? Siapa orang gila yang dia maksud? Ada berapa orang di ruangan ini? Aku di mana sebetulnya?

"Sstt!! Jangan keras-keras nanti dia dengar. Kita nggak boleh menyebut orang gila terang-terangan."

"Ahh, dia nggak akan dengar. Dia aja nggak sadar dengan dirinya."

"Bukan pasien ini. Tapi itu."

Itu? Itu apa? Itu siapa? Seseorang ... Kalian ... Tolong! Tolong buat aku sadar! Tolong!

"Shodaqollahul adziim."
"Ehem! Bisa saya buka tirainya?"

Suara siapa itu? Begitu lembut dan menenangkan. Diakah yang mengaji sedari tadi?

"Tunggu sebentar. Kami belum selesai, Pak."

Perempuan. Dua orang yang bercakap-cakap di sekitarku sedari tadi adalah perempuan. Kini aku bisa mengenali suara mereka dengan jelas. Yang satunya bersuara kekanak-kanakan, mungkin usianya lebih muda. Yang satunya lagi agak serak. Awalnya kukira lelaki, tapi ketika ia bersuara agak keras terdengar jelas suara perempuannya.

"Pak? Usianya masih muda, masih mahasiswa. Kenapa kamu panggil bapak?" tanya si suara anak-anak.

"Itu panggilan umum untuk menghormati seseorang. Laki-laki dipanggil bapak. Perempuan ibu. Wajar, kan?" jawab si serak sambil mengangkat tubuhku setengah duduk. Mereka berdua memakaikan baju untukku. Segitu tak berdayanyakah diriku?

"Eh, omong-omong, Mas Mahasiswa itu lumayan ganteng, ya? Kayaknya juga anak orang kaya. Mobilnya bagus! Tapi, kok sukanya sama orang gila, sih? Kayak nggak ada perempuan cantik yang waras aja."

"Yang waras banyak. Tapi matre. Kayak kamu! Kalau orang gila, kan nggak butuh apa-apa."

"Tapi masih bisa dipake, ya?"

Keduanya tertawa tertahan. Seandainya hanya aku di ruangan ini, sudah pasti aku yang mereka sebut 'gila'. Tapi aku masih bisa berpikir walau ingatanku kadang hilang setengah-setengah. Apa kondisiku ini bisa dibilang gila? Rasanya aku ingin menjelaskan sesuatu. Sebuah bantahan yang bilang kalau aku tidak gila. Tapi mataku sulit untuk dibuka. Tubuhku kaku. Dan sekarang, perempuan-perempuan ini seperti sedang mengikat tubuhku dengan tali. Apa aku begitu berbahaya?

"Pasien kita ini emang cantik, sih. Wajar kalau Mas Mahasiswa jatuh cinta." Si serak menyisiri rambutku yang tergerai hingga ke punggung. Rambut yang selalu menjadi kebanggaanku sejak dulu.

Sewaktu aku masih di Taman Kanak-Kanak, Ibu sering mengepang rambutku dan memberi hiasan pita atau jepit beraneka rupa. Kata Ibu, aku cantik seperti putri bunga. Lalu Bapak akan bertingkah seperti kupu-kupu yang hendak membawa putri bunga jalan-jalan. Ia menggendong aku di bahunya dan kami berteriak-teriak keliling ruang tamu membuat Ibu sedikit cemas karena takut aku jatuh. Ibu pun mengejar kami karena hendak menurunkan aku dari pundak Bapak dan merapikan seragamku yang sedikit kusut. Kami berkejaran sejenak di dalam rumah sebelum akhirnya Ibu merajuk dan Bapak menyerah menurunkan aku. Sungguh pagi yang hangat sebelum Bapak dan Ibu mengantar aku ke sekolah sekaligus penitipan anak tempat aku menghabiskan waktuku sebelum mereka menjemput di sore hari sepulang dari bekerja.

Apa orang gila bisa punya ingatan sejernih itu?

Pasti bukan aku yang mereka sebut gila. Pasti ada orang lain di ruangan ini. Tapi apa yang kulakukan di sini? Di mana Ibu?

"Selesai. Kamu bisa buka tirainya. Biar Mas Mahasiswa itu bisa lihat kondisi pasien kita pagi ini." Si serak memberi perintah. Aku mendengar suara rel tirai digeser. Ada cahaya lebih terang yang jatuh di kelopak mata. Membuat mataku sedikit mengerjap.

"Silahkan, Pak. Kami permisi dulu."

Langkah-langkah kaki menjauh. Pintu dibuka dan ditutup. Sepi. Langkah seseorang mendekat. Desah napasnya terdengar dari sisi ranjang. Aroma segar pagi hari dan spearmint begitu jelas tercium. Isi kepalaku mendadak menggigil. Seolah habis diperciki butiran-butiran kristal es.

"Selamat pagi, Abby? Bagaimana perasaanmu hari ini?"

Ah, ya, aku ingat sesuatu sekarang.

Namaku Abby dan aku seorang pembunuh. ©

________________________________

Hai, gaesss ....
Suka dengan cerita di atas? Bantu vote dan komennya, ya. 
I luph youuu ... 😍😍😍

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang