5 - He loves me, he loves me not

181 24 0
                                    


Hujan.

Aroma tanah basah tercium hingga ke dalam kamar. Aku bisa merasakan embusan angin membawa serta kabar-kabar duka dari kamar yang lain. Juga kabar dari ruang istirahat para perawat. Mereka, para perawat perempuan yang diam-diam suka membicarakan hal-hal ngawur, sering bercerita tentang Kelana, menebak-nebak apa isi kepala Kelana, atau bahkan berencana untuk melakukan hal-hal khusus yang dapat menarik perhatian Kelana. Mereka pikir aku cuma bisa menatap kosong pada dinding bercat biru dan tak bereaksi pada setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Mereka pikir aku tak akan merespon pada setiap cekikikan dan perkataan mereka tentang Kelana. Mereka bisa saja membebat tubuh dan membatasi pikiranku, tapi mereka tak bisa menyuruh otakku untuk berhenti menyusun rencana-rencana.

Rencana apa yang kamu pikirkan, Abby?

Tentu saja rencana untuk mati. Aku merasa hidupku tak punya tujuan lagi. Aku cuma gadis delapan belas tahun yang tak punya ijazah SMA dan kemungkinan dibuang dari keluarga. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena sejak sembilan puluh satu hari aku tiba di kamar ini -- aku membuat garis-garis kecil untuk menandai satu hari keberadaanku di tempat ini-- tak ada siapapun yang datang menjenguk. Terutama Ibu. Jangankan datang, kabar beritanya pun tak pernah kudapatkan. Surat, telepon, atau sekadar meninggalkan pesan di resepsionis.

Apa aku sedemikian buruk? Menyandang status pembunuh lalu dibuang dari lingkungan keluarga selamanya?
Mengerikan! Membayangkan aku akan sebatang kara dan luntang-lantung apabila nanti telah keluar dari tempat ini, membuat air mataku kerap berjatuhan dan aku akan menangis hingga kelelahan.

Tempat ini, tidak seperti rumah sakit jiwa dalam bayanganku. Pikirku, akan kutemukan orang-orang tak waras yang tak ingat siapa dirinya atau orang-orang yang sering tertawa, menjerit, dan bertingkah laku tolol di luar nalar. Pasien di sini terlihat normal. Mereka boleh berpakaian sesuka hati asal sopan, tidak ada baju seragam khusus rumah sakit untuk pasien. Kecuali jika pasien sering mengamuk dan dinilai membahayakan diri sendiri dan orang lain, baru pasien akan dipakaikan jaket orang gila. Seperti aku di awal-awal kedatanganku kemari.

Aku sendiri tidak merasa sedang berada di sebuah rumah sakit. Oh, ya, aku tahu rumah sakit itu seperti apa. Ibu pernah mengajakku ke rumah sakit bersalin tempat orang-orang memperoleh bayi. Kupikir kami juga begitu. Aku akan dapat seorang adik dan aku akan punya teman bermain jika Ibu dan Bapak pergi bekerja. Hatiku bungah ketika Ibu duduk di kursi roda dan di dorong masuk ke sebuah ruangan. Perawat menutup pintu dan menyuruhku sabar menunggu. Aku akan punya adik! Hatiku berlompatan saking gembiranya. Aku pun jadi anak baik dan sabar menunggu.

Satu jam menunggu, tangis bayi terdengar dari dalam ruangan tempat Ibu menghilang tadi. Adik sudah lahir! Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju depan pintu ruangan. Seorang bapak berjalan cepat di belakangku, begitu tergesa hingga menyenggol bahuku cukup keras. Tapi tidak sampai membuatku terjatuh. Ia meminta maaf dan berdiri dengan tak sabar di depan pintu yang tertutup.

Seorang perawat membuka pintu dan memanggil sebuah nama. Bapak tadi masuk mengikuti perawat itu. Aku menunduk lesu. Bukan adik.

Tak berapa lama, pintu ruangan membuka. Ibu berjalan pelan dan sedikit sempoyongan. Seorang perawat membantu Ibu berjalan dan mendudukannya di kursi sebelahku. Wajah Ibu pucat dan ia terlihat lebih cantik dari biasanya. Dengan tersenyum lemah Ibu bilang jangan kasih tahu Bapak jika kami pergi ke tempat ini. Ibu tidak ingin Bapak khawatir. Tidak ada adik?, tanyaku. Ibu menggeleng pelan. Katanya, perut Ibu tidak membengkak seperti perempuan hamil. Lagi pula, kata Ibu, seorang bayi diperoleh dari doa-doa dan keinginan dan harapan. Ibu tidak berdoa, tidak ingin dan tidak berharap. Tidak akan ada bayi untuk kami.

Bagiku tempat ini lebih mirip rumah peristirahatan dengan kamar-kamar berbentuk paviliun yang menghadap ke taman terbuka. Di dalam kamar yang lebih besar dan lebih bersih dari kamarku di rumah Bapak, ada sebuah ranjang berukuran queen dengan kasur yang tebal dan bantal-bantal yang empuk. Ada meja kecil di kedua sisi ranjang dan sebuah lemari dua pintu tanpa kaca berada di sudut ruangan di sebelah pintu menuju kamar mandi. Tidak ada cermin di kamar ini. Menurut Kelana, aku punya kecenderungan bunuh diri, sehingga mereka mengambil barang-barang yang bisa kugunakan untuk melukai diri.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang