20 - Ketika Hati Bicara

113 14 0
                                    

Semua sudah Bria pertimbangkan masak-masak. Gadis berambut biru menyala yang mulai pudar itu berniat kabur, pergi sejauh mungkin dari kedua orangtuanya. Sebuah keinginan yang selama ini kerap hadir dalam benak, tapi Bria selalu memiliki sejumlah keraguan yang membuat ia sampai detik ini masih bertahan. Salah satu alasan terbesar, karena sang ibunda tercinta. Bria sering kali berpikir seperti apa nanti nasib sang ibu apabila ia pergi dari rumah. Berdua saja dengan sang ayah yang kerap kasar dan main tangan, bisa jadi sasaran kemarahan lelaki itu yang semula lebih banyak diluapkan pada dirinya, berbalik dilampiaskan pada sang ibu seorang. Bria tak dapat membayangkan jika perempuan itu harus menanggung demikian besar penderitaan setelah ia tak lagi ada di sini. Namun, kini keputusan Bria sudah bulat. Perempuan terkasih itu ternyata tak menyayangi dirinya. Terbukti dari kata-kata sang ibu yang menganggap Bria sebagai anak setan. Dan kalimat itu dilontarkan ibu dengan wajah ketakutan. Ya, ibu takut pada Bria, hanya karena ia mencegah sang ayah melukai sang ibu lebih jauh lagi.

Tas carrier di dekat ranjang sudah hampir penuh. Sebagian besar berisi pakaian walau Bria sempat menyelipkan sepasang sneakers. Gadis itu pun membawa beberapa barang kenangan yang ia peroleh dari teman-teman band-nya saat ia berulang tahun tahun lalu dan sebuah squeezy berbentuk Hello Kitty pemberian Ayunda. Saat Bria membuka-bukai laci bagian bawah lemari pakaian, jemarinya tak sengaja menyentuh benda panjang dengan permukaan halus di bagian paling belakang laci tersebut. Penuh penasaran ia menarik benda tersebut dan segera saja gadis itu mendapati dirinya telah menggenggam sebuah boneka barbie yang dahulu pastinya berambut pirang keemasan, tapi kini telah berubah menjadi cokelat kusam, penuh diliputi debu dan sarang laba-laba. Dada Bria nyeri seketika. Ia mengingat jelas boneka tersebut. Hari itu ulang tahun kedelapan seorang gadis kecil cantik berambut hitam panjang dengan senyuman termanis. Gadis yang disayangi kedua orangtuanya. Gadis yang memiliki semua kebahagiaan yang ada di dunia. Gadis kecil yang pernah Bria kenali, tapi kini sudah tak ada lagi. Gadis itu telah pergi, pergi dengan membawa serta senyuman manisnya. Dengan wajah mengeras Bria membanting boneka tersebut.

"Ini bukan punyaku, tapi kepunyaannya!" desis Bria penuh geram dan menutup laci kembali.

Malam nyaris menuju pagi. Bria menyandang tas carrier, mengalungkan pula soft case gitar listrik, memandang seisi kamar terakhir kali sebelum dengan mengendap-endap ia keluar dari dalam kamar. Ia sempat melirik jam dinding di ruang makan. Pukul tiga dini hari. Saat Bria menoleh ke arah kamar orangtua yang berada tepat di samping kamarnya, gadis itu mendapati bahwa pintu kamar itu sedikit terbuka. Cahaya kekuningan keluar dari celah pintu. Suara dengkur keras sang ayah ikut menerobos keluar, mengganggu telinganya. Bria ingin tak ambil peduli. Ia ingin pergi secepat mungkin selagi orangtuanya lengah, tapi suara lirih sang ibu yang sempat menyebut namanya memaksa Bria untuk menghentikan langkah. Masih mengendap-endap, Bria mengintip melalui celah pintu. Di kamar sempit itu ia mendapati punggung ringkih sang ibu dalam balutan mukena sedang mengangkat kedua tangan. Dada Bria berdebar. Gadis muda itu mencengkeram gagang pintu tanpa sadar. Penuh perhatian ia menyimak apa yang perempuan itu ucapkan di sepertiga malam ini.

" ... gadis manis yang dulu sering kali hamba ikat rambutnya. Hamba ingin kembali seperti dulu lagi, ya Allah, ketika suami hamba belum dipecat dari pekerjaannya. Ketika keluarga kecil kami masih diliputi kebahagiaan meskipun hidup dalam kesederhanaan. Ya Allah, betapa hamba sangat menyayangi anak hamba. Mohon bukakanlah pintu ampunan-Mu jika hamba dan suami pernah memberi makanan dari rezeki yang tidak halal kepada anak kami hingga pribadinya berubah menjadi keras dan kasar. Ya Allah, ya Robb, kembalikanlah anak kami tercinta seperti pribadinya yang penuh kelembutan seperti dahulu ...."

Bria tak sanggup lagi mencuri dengar doa yang ibu panjatkan untuknya. Dengan dada sesak gadis muda itu berbalik dan masuk lagi ke dalam kamar. Pelan-pelan ia menutup pintu dan menguncinya, lalu menaruh kembali soft case gitar di pojok kamar bersanding dengan carrier usang yang penuh sesak dengan barang-barang. Bria duduk di pinggir tempat tidur, membuka Doc Mart-nya lantas berbaring menelentang sambil meletakkan sebelah lengan di atas wajah. Mati-matian gadis itu mencoba menahan jatuhnya air mata, tapi merembes juga butiran-butiran tangis itu, melunturkan segala amarah yang semula telah membumbung tinggi, tergantikan dengan perasaan bahagia setelah mengetahui sang ibu ternyata menyayanginya. Sangat menyayanginya. Beberapa menit kemudian Bria telah lelap tertidur setelah memutuskan ia batal minggat dari rumah. Demi sang ibu. Demi orang terkasih yang ia sayangi. Kalaupun harus pergi, ia akan membawa serta ibu agar terhindar dari segala kekejaman sang ayah.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang