18 - Kepundan

89 12 0
                                    

Ruangan itu gulita. Lampu-lampu urung dinyalakan. Suara-suara teriakan dan tangisan telah lama berhenti, berganti dengan jerit derit ranjang tua yang sesekali terdengar dari dalam kamar. Bria menatap tajam tubuh yang teronggok tak jauh dari kakinya. Ketika tubuh itu mulai bergerak disertai lenguhan dari bibir lelaki yang beberapa waktu lalu babak belur dihajar dirinya, dengan kemarahan yang tersisa gadis itu bangkit dan menendang tulang kering lelaki itu yang kembali mengundang serapah dan dengus kesakitan.

Bria melangkah ke luar rumah. Tangisnya telah kering sedari tadi dan ia menyesal membuang air mata untuk perempuan yang ternyata hanya menganggapnya anak setan. Perempuan yang ia sayangi sepenuh jiwa raga dan karenanya rela ia bela mati-matian dari kekejaman sang ayah, ternyata berpihak pada lelaki itu yang selama ini hanya mendatangkan penderitaan bagi dirinya dan sang ibu.

Langkah Bria berhenti di ujung jalan. Ia menyetop angkutan kota yang melintas. Tujuannya satu, rumah Ayunda. Ia sudah merasakan kehangatan keluarga itu sepanjang siang hingga sore tadi. Jadi, ia berpikir, mereka pasti akan mengerti dan menerima bila dirinya datang lagi meskipun hari telah jauh malam. Bria tidak tahu alasan apa yang akan ia katakan nanti. Namun, di dalam hati, ia ingin sekali bertemu kakak lelaki Ayunda. Lelaki itu telah berhasil membuat ia salah tingkah dan menghadirkan debar dalam dada. Lelaki itu pula yang telah membuatnya mabuk dengan tatapan mata yang mampu meluruhkan hati. Bria yakin jika ia punya keberanian dan kesempatan untuk berbicara berdua saja, lelaki dengan senyuman ramah itu pasti akan dengan senang hati mendengarkan. Ya, Bria tak berharap untuk diberikan solusi atas masalah yang ia hadapi. Ia hanya ingin seseorang mendengarnya. Itu saja.

Angkutan kota yang Bria tumpangi melambat lalu berhenti tak jauh dari rumah yang ia tuju. Seorang penumpang turun. Bria ingin melakukan hal yang sama, tapi tubuhnya mendadak kaku. Wajahnya mengeras. Senyuman yang semula hadir di sana berubah menjadi sudut-sudut tajam. Susah payah ia lalu mengggeser duduk menjauhi pintu angkutan kota tersebut, tak ingin seseorang yang ia lihat barusan menyadari kehadirannya. Mobil kembali berjalan. Udara malam yang semula tak ia rasakan kini mulai menggigilkan Bria. Gadis itu pun merapatkan jaketnya.

***

"B ...?"

Johar yang baru kembali mengambil air minum dari lantai bawah tercekat melihat seonggok  tubuh yang duduk di kursi panjang di balkon samping kamarnya. Garis-garis wajah gadis itu tetap setegas biasa meskipun Johar melihat bekas-bekas sembap membayang di sana. Dan sorot mata itu tetaplah senyalang mata seorang pembunuh.

Bria duduk dengan menumpukan kaki ke pinggiran meja, sementara kedua tangan memeluk tubuhnya sendiri. Kepala gadis itu rebah di senderan kursi dengan tatapan yang terkunci di satu titik. Johar yang masih berdiri di anak tangga teratas pelan-pelan mendekati Bria lantas duduk di samping gadis itu dengan hati-hati. Ia menopangkan punggung di lengan kursi di ujung kanan, bersila menghadap ke arah gadis berambut biru yang mulai pudar itu. Ia mencermati wajah di depannya yang tampak mengeras dengan ujung-ujung bibir membentuk sudut tajam.

"Gue hampir membunuh Bapak malam ini, Har."

Bria mendesis tajam. Suaranya seperti datang dari tempat yang jauh, bergulung-gulung sebelum menabrak dinding telinga Johar dan memantul-mantul di sana dengan pengulangan pada kata 'membunuh'. Lelaki bermata teduh itu menegakkan punggung tiba-tiba, terkejut oleh pernyataan yang baru saja didengarnya.

"Sayangnya dia nggak mati!" desis Bria lagi.

Johar merasa bulu kuduknya meremang mendengar dinginnya nada dalam suara gadis itu. Ia juga menganggap ini sesuatu yang baru, bagaimana Bria yang selama ini selalu tertutup, tiba-tiba menjadi seterbuka ini. Johar memajukan punggungnya, bersiap pada hal-hal lain yang ia rasakan pasti akan segera disampaikan gadis yang kini telah mengubah posisi duduknya jadi menghadap Johar, bersender pada lengan kursi di belakangnya sementara kedua lutut masih tertekuk dan tangan tetap mendekap tubuhnya sendiri. Johar melihat tubuh itu memang seperti menggigil, tapi agaknya bukan oleh udara malam melainkan karena amarah yang nyata beriak-riak di kedalaman mata gadis itu. Johar juga merasakan betapa atmosfir ketegangan meluap-luap di antara dirinya dan Bria.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang