3 - Kisah Seorang Raja

258 31 4
                                    

Namanya Kelana. Ia bilang akan membantuku sembuh. Aku tidak sakit. Ia bilang akan membuatku mengingat. Aku tidak lupa. Mungkin aku lupa tapi tidak pada hal-hal yang tidak kulakukan.

"Makanlah. Kamu belum makan sedari pagi." Ia menyodorkan sendok berisi bubur dan sedikit kuahnya ke depan mulutku.

Aku menggeleng. Sejak mataku membuka, aku tidak merasa lapar atau haus. Aku hanya kesepian dan ingin menangis. Ada rasa hampa dan kosong yang begitu dalam pada diriku. Kesedihan yang menyedot seluruh jiwa dan aku ingin memilih dilesakkan ke dalam dinding untuk membatu di sana. Tapi tubuhku terkunci. Jaket orang gila ini mengikat erat kedua tangan hingga tak bisa memberontak.

"Maaf jika kamu harus diikat. Tapi jika kamu berjanji akan bertingkah baik, saya akan meminta perawat untuk melepas jaketmu."

Bertingkah baik. Sejak dulu aku selalu bertingkah baik. Tapi apa yang kudapatkan? Wajah lebam dan bengkak yang membiru di sana-sini. Semua hanya kebohongan. Ibu selalu bilang jika aku harus jadi gadis yang penurut dan bertingkah seperti seorang putri. Ibu bilang, Bapak itu raja. Yang namanya raja, harus selalu diikuti titahnya. Apa keinginannya harus dituruti. Karena rajalah yang nantinya akan memberi perlindungan dan kebaikan pada hidup kita. Rajalah pemilik aturan yang harus ditaati. Tanpa aturan hidup kita akan kacau. Tanpa raja, aturan tak bisa berjalan.

Bapak adalah raja. Bapak pembuat aturan. Aku dan Ibu pelaksana aturan-aturan Bapak. Dan aku harus menurut. Harus! Tanpa toleransi.

"Nanti akan ada hadiah untuk anak yang penurut."

"Berbi? Es krim? Aku ingin kue salju saja, Bu. Yang ada bola-bola coklat dan meses warna-warni di atasnya. Yah, yah, boleh, ya, Bu."

"Tapi kamu janji harus menurut sama Bapak selama Ibu kerja. Janji?"

Kue salju ditukar dengan menjadi anak yang penurut. Bukan harga yang setimpal sebenarnya. Tapi sudah terlambat untuk menyadari.

"Abby ... Jangan melamun. Kamu mau buah? Saya kupasin apel, ya? Atau kamu mau jeruk?"

Suaranya begitu indah. Seindah paras dan tubuhnya. Benar kata perawat tadi, ia tidak seharusnya menghabiskan waktu di sini bersamaku. Aku sudah tak tertolong. Seharusnya ia membiarkan aku diatasi para perawat yang pura-pura manis tapi dalam hatinya bengis. Atau mungkin menangis. Bisa jadi mereka sama gilanya dengan pasien yang mereka urus. Aku pernah membaca cerita tentang itu. Dulu, sewaktu kebebasanku belum terenggut dan pikiranku bisa kulayangkan ke angkasa setinggi-tingginya. Berkelana melintasi samudra dan benua agar tak menetap di satu tempat. Aku berusaha tetap waras. Tetapi menjadi waras itu sulit, ketika dirimu dikelilingi kegilaan-kegilaan yang epik.

"Abby ... Kemarin kita sudah mengalami kemajuan. Kamu mau membuka diri dan bercerita tentang keluargamu. Terutama ayah. Apa hari ini kita bisa melanjutkan lagi atau kamu memilih mengurung diri kembali?" Aku menatap datar paras rupawan itu. Suaranya mengisi penuh lubang-lubang kosong di dadaku. Apa aku bisa bersandar pada kata-katanya?

Namun aku teringat kata Ibu, tidak ada laki-laki yang bisa dipercaya di dunia ini selain ayah dan suamimu kelak. Ayahku sudah mati dan suamiku belum ada. Jadi aku tak bisa percaya pada laki-laki manapun. Bukan begitu, Ibu?

"Abby ..." Kelana mengulurkan tangan.

"Jangan mendekat!"

"Saya hanya ingin menolong."

"Kubilang jangan dekat! Atau ... AAAAA!!!"

Kurasakan tubuhku berguncang hebat dan punggungku melengkung. Dunia berputar seratus delapan puluh derajat. Aku melihat ujung sepatu Kelana sebelum kurasakan bola mataku terbalik dan semua menjadi hitam.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang