27 - Awal pencarian

168 18 1
                                    

Abby membuka pintu yang membatasi dapur dan serambi belakang. Ada dua kursi rotan dan satu meja di antaranya, menghadap ke halaman belakang rumah Kelana yang asri. Tak kalah asri dengan halaman depan. Mama Kelana menanam sayur dan cabe-cabean di halaman belakang. Pohon jambu air di sudut halaman sedang berbunga lebat, tak lama lagi buahnya yang ranum akan bergelantungan. Desisan angin mengipasi daun-daun jambu dan mengantar semilirnya angin ke wajah Abby. Sejuk. Hati Abby juga sejuk. Sekaligus sepi.

Di ruang makan, masih terdengar senda gurau Johar, Ayunda, dan yang lainnya. Sesekali suara manja Monci muncul menanggapi celotehan Pinto atau Dika atau Johar atau mungkin Ayunda. Entahlah. Abby sedikit bingung dengan begitu banyaknya orang baru yang ia temui hari ini. Baginya mereka baru. Bagi mereka, Abby tak ubahnya Bria yang pernah mengisi hari-hari mereka dengan banyak hal. Namun ia bukan Bria, tak ada ingatan Bria yang diwariskan pada Abby. Ia sadar mata-mata yang sesekali mencuri pandang ke arahnya, mungkin mereka berharap ada sosok Bria yang tiba-tiba muncul dan mereka kenal. Terutama Monci, ia terlalu berharap banyak pada Abby. Jika dalam kondisi yang lain, mungkin mereka bisa menjalin keakraban dan berteman baik. Namun saat ini, pikiran Abby tiba-tiba penuh, ia merasa canggung meski Kelana berusaha mencairkan suasana berkali-kali. Seperti saat Monci memeluk dan menangis meraung di telinganya, Abby tak tahu harus berbuat apa. Kelana membantu menenangkan Monci dan mengatakan jika ia sudah lapar sekali karena tidak sempat sarapan tadi pagi. Aroma sup dan ayam goreng sudah memanggilnya dari ruang makan. Mama Kelana menyambut cepat ucapan Kelana dan menggiring mereka semua ke ruang makan. Suasana mencair. Masakan Mama menyumbat kekosongan-kekosongan pada rongga perut. Sambal Mama mengalahkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Namun Abby masih merasa gamang, ia masih merasa, bukan Abby yang seharusnya di antara mereka, tapi Bria.

Tiba-tiba Abby merasa bersalah. Mungkin keputusannya membunuh karakter Bria terlalu cepat. Mungkin tidak seharusnya ia menghilangkan Bria begitu saja. Seperti kata Bria, mereka sebenarnya sama, mereka seharusnya bisa berbagi peran. Toh, mereka punya tempat khusus untuk berdiskusi dan menentukan kapan dan siapa yang seharusnya memegang kendali.

Keriut pintu di belakang Abby membawa kesadarannya kembali. Ia menoleh sejenak dan melihat Kelana membawa secangkir kopi untuknya. Mungkin kafein bisa membantu mengatasi kecanggungan dan membuat suasana lebih cair di antara mereka nantinya.

"Merasa lebih baik?" tanya Kelana setelah Abby menyeruput kopinya.

"Tidak secepat itu efek kafein akan mempengaruhi otak," jawab Abby sembari mengulas senyum.

"Kamu mau istirahat? Hari ini pasti sangat melelahkan untukmu."

"Iya. Bingung, sih sebenarnya. Tiba-tiba banyak orang baru."

" Mereka semua teman baik Bria. Maaf jika ini membuatmu bingung. Seharusnya saya melakukannya lebih pelan. Tapi mereka sudah sangat ingin ketemu kamu. Bagi mereka, Bria bukan sekadar teman atau sahabat. Tapi juga keluarga. Bahkan pahlawan."

"Bria banyak melakukan hal yang hebat, ya. Tidak seperti aku," ujar Abby sendu.

"Kamu yang menciptakan Bria. Dia adalah kamu. Apa yang telah dilakukan Bria, secara tidak langsung juga dilakukan olehmu."

"Aku bukan Bria. Tidak ada sedikit pun kesamaan kami." Abby memainkan cangkir kopinya. Memiringkan ke kiri dan ke kanan bergantian. Desah napas berkali- kali terdengar dari mulutnya. Ia gelisah. Untuk kali pertama, ia ingin kembali ke danau itu.

Kelana membaca kegelisahan Abby, ia menyentuh bahunya dan mencoba membimbing Abby masuk kembali ke dalam. Namun Abby menolak melangkah. Ia ingat, ada hal lain yang butuh kejelasan dari Kelana.

"Bria tahu banyak hal. Bahkan tentang dirimu. Dia sudah pernah bertemu denganmu sebelum kamu bertemu aku. Apa kalian punya hubungan spesial?" tanya Abby lirih.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang