"Kamu tidak kerasukan, Abby." Kelana menjawab ragu-ragu. Ada rasa lelah dari nada suaranya."Saya harus menemui Dokter Arman sekarang." Dia membereskan barangnya di atas nakas dan memasukkannya pada tas ransel yang diletakkan di atas kursi.
"Kenapa tiba-tiba? Kamu bilang mau salat? Apa ada omonganku yang salah? Kamu menghindari sesuatu? Ada apa Kelana? Apa yang kamu sembunyikan?" Kupegang tangannya untuk mencegahnya berbenah.
Berhasil! Gerakannya terhenti.
"Saya tidak bisa menjelaskannya padamu. Bukan wewenang saya, Abby."
"Aku tidak gila, Kelana," kataku datar. Mataku menyapu ujung sepatu Kelana. Hari ini ia mengenakan sepatu sneakers putih dengan garis biru terang.
Biru. Biru. Biru. Biru
Warna itu begitu akrab denganku. Biru terang rambut gadis punk di Kota Hilang, biru warna langit yang kuintip dari celah papan jendela yang kucongkel, biru kelam warna seragam kerja Ibu, biru hampir hitam warna celana dalam Bapak ....
"Ahhh!"
Aku memegang kepalaku. Rasanya seperti ada arus listrik mengalir dari leher dan perlahan naik ke kepala. Ada kekuatan besar yang menarikku perlahan ke dasar danau. Pelan. Pelan. Tenggelam. Makin jauh. Makin hilang. Jauh. Jauh.Aku bisa melihat jelas sinar matahari yang jatuh di permukaan danau pelan-pelan meredup. Di sini, di dasar danau adalah tempatku bergelung dan menghilang dari kekacauan perasaanku sendiri. Di sini, di dasar danau, aku kembali menjadi janin yang tak perlu memikirkan ingar-bingar kehidupan yang berjalan di sekitarku.
Aku tenang. Aku diam. Aku sendiri.
Sendiri lebih baik, bukan?
"Kamu cantik jika sedang sendirian?"
Aku tersentak! Ingatan apa lagi ini?
"Ada orang yang terlihat lebih jelek jika sedang murung. Kamu sebaliknya, kesuraman membuatmu terlihat menarik. Sepertinya suram sangat akrab denganmu, ya?"
Biru. Matanya biru. Jernih sekali. Dari seluruh penampilannya yang menarik perhatian gadis-gadis, mata birunya paling membekas di ingatan. Biru yang menenangkan. Bahkan aku merasa rela tenggelam di matanya.
"Kamu berbeda dengan gadis lain. Jam istirahat biasanya mereka asyik ngerumpi di kantin atau sibuk berbaris di muka kelas mencari perhatian laki-laki, kamu malah duduk mencangkung di belakang WC. Sendirian. Kenapa?"
Dari cara bicaranya yang terlihat berbeda dengan temanku yang lain, kutebak dia bukan asli Indonesia. Umur berapa kita waktu itu? Sepertinya ini ingatan waktu SMP. Tiga belas? Empat belas? Atau lima belaskah umurku?
"Aku Brian. Siswa pertukaran pelajar dari London. Dan kamu?" Dia mengulurkan tangan. Kulit yang sangat putih dengan bulu-bulu halus keemasan di sepanjang lengannya.
"Abby," jawabku sambil memberikan jemariku yang sedikit gemetar. Bukan karena gugup. Tapi karena menahan nyeri setelah semalam Bapak hampir meremukkan jariku dengan penggaris besi.
Aku ceroboh! Begitu Bapak bilang. Anak ceroboh harus dihukum supaya tidak mengulangi perbuatannya. Bapak marah karena aku menumpahkan teh manis yang kubuat untuknya. Wajar saja Bapak marah, karena itu adalah gula terakhir kami.
"Abby ... Brian ... Nama kita mirip. Apa mungkin kita berjodoh?" Brian memamerkan deretan giginya yang rata dan bersih. Senyumnya begitu hangat, aku bisa melihat lapisan es di antara kami mencair dan serpihannya berjatuhan membasahi tanah.
Brian mengakrabi kesendirianku. Dia ada ketika air mata ini jatuh berduyun-duyun membasahi pipi. Dia juga mengusap luka-luka yang berdenyut tiap kali disentuh, kulit yang melebam dan membiru, juga bibir yang pecah sehabis ditampar Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTORSI
Mystery / ThrillerAbby, gadis 18 tahun korban KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri. Bria, gadis punk yang menyimpan rahasia kelam kehidupan keluarganya. Ketika Ayah Abby ditemukan mati gantung diri di kamar tidur Abby, tuduhan dan bukti-bukti mengarah pada g...