17 - Suara di Dalam Kepala Abby

85 15 0
                                    

"Seharusnya kamu tidak meninggalkan dia. Sudah saya bilang, kan?"

"Maafkan saya, Dok. Dia pergi tanpa sepengetahuan saya."

"Emosinya bergantung pada perasaannya padamu. Kamu pikir apa pemicunya? Dengar Kelana, saya tidak mau menunda lagi. Kita harus melakukan itu secepatnya."

"Please ..., jangan, Dok! Beri saya waktu. Saya yakin teori-teori saya sudah benar. Abby terkontrol. Saya yakin sebentar lagi dia bisa melupakan traumanya."

"Berapa lama lagi? Rumah sakit saya bukan ajang uji coba. Kamu tidak bisa jatuh cinta pada setiap pasien untuk menguji teorimu. Bayangkan seandainya Abby tidak punya perasaan padamu, apa bisa kita menyembuhkannya tanpa memberitahu hal yang sebenarnya terjadi? Bukan begini cara kerjanya. Kamu seharusnya paham."

"Saya tahu. Saya sangat berterima kasih karena telah membantu saya, Dok. Saya mohon, jangan minta saya melepas kasus Abby."

"Dua minggu. Tidak lebih. Berhasil atau tidak, saya akan ambil alih."

"Terima kasih, Dok."

"Satu hal lagi,  jangan sampai hal ini terulang lagi. Kamu tahu risikonya, kan?"

"Saya paham, Dok."

Suara langkah kaki berjalan menjauh. Pintu berderit membuka, lalu menutup. Hening. Hanya ada gesekan-gesekan gelisah dari seseorang di sebelah kanan ranjang. Aku tahu jika itu adalah Kelana. Seharusnya aku bisa membuka mata dan menyapa, lalu bertanya beberapa hal padanya. Tapi aku malas.

'Mungkin emang sebaiknya lo nggak usah melek, Abby. Tidur aja terus, biar gue yang urus!'

Suara itu. Suara itu masih menggema di dalam kepala. Kelana bilang suara itu tidak nyata. Aku yang membuatnya ada. Tapi kenapa suara itu tak mau pergi? Dia seperti tahu apa yang kupikir dan kurasakan. Mengerikan! Berpikir di dalam kepala sendiri saja sudah tidak aman. Aku harus bagaimana?

'Lari. Mati. Sama seperti Bapak.'

Aku tidak mau mati! Kelana bilang kita harus menghargai hidup. Mati itu hak Allah. Kita tidak boleh mendahului takdir. Mati juga bukan solusi terbaik. Allah tidak akan memberi cobaan pada seseorang jika orang tersebut dinilai tidak mampu melaluinya. Mati juga bukan akhir kehidupan. Sebaliknya, mati adalah awal dari sebuah perjalanan panjang di alam lain. Kelana bilang seseorang yang mengakhiri hidup sama seperti menganiaya diri sendiri. Kelana bilang dosanya besar dan akan mendekam di neraka jahanam. Neraka yang paling neraka! Kelana bilang ...

'Cukup! Kelana bilang! Kelana bilang! Lo nggak bisa, ya mikir tanpa Kelana? Hidup, hidup lo! Kenapa dikit-dikit Kelana? Denger, Abby ..., kalau lo nggak mau mati lo harus berhenti ngikutin apa kata Kelana. Cuma gue yang bisa ngelindungin lo. Cuma gue yang paham ama diri lo. Lo bisa hidup sampai sekarang itu karena gue, ngerti nggak lo! Kalau bukan karena gue, lo dah lama mampus di tangan Bapak. Kalau bukan karena gue, lo nggak bakal percaya diri deketan ma Kelana. Karena apa? Karena kalau bukan karena gue, lo dah lama nggak perawan! Cowok kayak Kelana mana mau sama cewek bekas pake, paham nggak, lo!'

Tidak! Bohong! Itu semua nggak benar. Siapa kamu? Mau apa kamu sebenarnya?

'Siapa? Siapa gue?'

Suara tawa tergelak-gelak memenuhi isi kepala. Rasanya begitu sempit. Rasanya begitu sesak. Rasanya dadaku dihimpit batu ribuan ton dan aku menggeliat-geliat mencari jalan keluar.

Allah. Allah. Allah. Bantu aku keluar dari sini. Tolong lepaskan rasa sesak ini.

Allahu Akbar. Walilla-hilhamd.

"Abby? Abby sadarlah Abby. Cari suara saya. Kamu ingat caranya, kan? Berdzikirlah. Hanya dengan berdzikir hatimu akan menjadi tenang. Abby ..., Abby?"

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang