7 - Ingatan di Kota Hilang

126 22 1
                                    


Keluargaku tidak terlalu berada. Bapak dulu seorang pengawas gudang kain di pabrik yang sama di mana Ibu bekerja di bagian administrasi. Karena hubungan kerja, keduanya sering bertemu. Jatuh cinta, lalu memutuskan menikah. Setahun setelah pernikahan mereka yang sederhana, lahirlah aku. Pelengkap kebahagiaan dan penghapus lelah ketika pulang kerja. Itu kata Bapak. Ibu hanya menanggapi dengan senyuman dan sorot mata lelah. Ibu memang selalu kelelahan, tapi dia tak berniat berhenti bekerja. Masih banyak kebutuhan. Masih banyak kebahagiaan yang harus dibeli, begitu kata Ibu.

Bapak yang begitu bahagia atas kelahiranku, aku tahu tentang ini karena Ibu berulang kali selalu menceritakannya, memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan. Dia ingin meringankan beban Ibu dan berharap suatu saat nanti, Ibu tidak usah bekerja lagi. Meskipun keluarga kecil kami dibiayai oleh dua orang pencari nafkah, tapi hidup di kota metropolitan tidak sesederhana hidup di desa. Segala hal dihargai cukup tinggi di kota ini. Bapak ingin aku mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Demikian juga Ibu.

Namun Bapak tidak pernah bilang jika tambahan penghasilan yang dimaksud adalah berbuat curang diam-diam di tempatnya bekerja. Ini juga berulang kali dikatakan Ibu. Jika saja Bapak berdiskusi terlebih dahulu dengannya, sudah pasti Ibu akan mencegah rencana Bapak mati-matian dan mereka masih hidup normal seperti keluarga lainnya. Ibu tidak menyangka jika Bapak berani memalsukan beberapa surat jalan dan menjual kain dengan harga miring ke pembeli secara diam-diam. Dan uang hasil penjualan itu dia gunakan untuk menafkahi keluarga.

"Itu uang haram, Pak. Jadi selama ini kita makan dari uang haram?" Ibu frustasi saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Waktu itu umurku dua belas.

"Haram bagaimana? Anggap saja ini komisi penjualan."

"Komisi apanya? Bapak jualin kain dan hasil penjualannya enggak Bapak setor ke perusahaan. Sama aja nilep duit perusahaan, Pak!"

"Sudahlah. Ini demi kehidupan kita juga, kok. Kamu seharusnya bantu aku. Kita bisa kerjasama. Satu atau dua gulung per bulan, kan, nggak bakal ada yang tahu."

"Kalau auditor perusahaan melakukan stock opname pasti ketahuan, Pak."

"Nggak akan kalau kamu bisa malsuin laporan opname punyamu."

"Aku nggak sudi! Aku nggak mau Abby jadi anak pembangkang karena dikasih makan uang haram."

"Nggak usah sok suci, Bu! Emang kamu pikir dari mana uang buat beli emas-emasmu itu? Kamu juga seneng, kan?"

"Nih, ambil semua! Aku nggak butuh emas-emas ini!" Ibu mempreteli perhiasan di jari dan tangannya lalu meletakkannya di atas meja.

"Jual semua emas ini, uangnya buat bayar kain-kain yang Bapak jual. Aku nggak mau nanggung dosa, Pak! Sebelum nikah kita udah janji mau hijrah dan saling memperbaiki diri, kan?"

"Tapi kita butuh uang banyak untuk hidup layak, Bu."

"Aku nggak masalah hidup kayak sekarang, Pak. Yang penting kita jujur. Aku nggak mau anak kita kayak anak sebelah, bapaknya korupsi terus anaknya ikut pergaulan nggak jelas. Bukannya ke masjid malah malakin orang-orang di mall. Mana dandanannya pada aneh-aneh. Ibu nggak mau Abby kayak gitu." Aku yang mengintip pertengkaran mereka dari celah pintu kamar yang menganga melihat Ibu berulang kali menyeka air mata.

"Besok Ibu mau bilang sama Pak Dirga!"

"Ibu mau bilang apa?" tanya Bapak cemas.

"Ya semuanyalah! Kalau Ibu nemu keganjilan di gudang pas lagi stock opname."

"Jangan sembrono, Bu. Aku bisa dipecat!"

"Nggak akan kalau kita jujur dan janji nggak akan ngulangin lagi, Pak."

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang