28 - Nostalgia

292 20 4
                                    

"Kok, tumben ngajak aku ke sini?"

Ayunda menoleh ke arah Johar yang mengayuh perahu bebek yang mereka tumpangi dengan bersemangat. Gadis itu pun mengayuh sama bersemangatnya. Pulang kuliah tadi Johar sudah menantinya di parkiran kampus dan mengatakan akan memberinya kejutan. Ayunda tak menyangka bahwa pergi ke Danau (Situ) Genteng adalah kejutan yang dimaksud kekasihnya tersebut. Tentu saja gadis berlesung pipit itu menjadi sangat bahagia. Daerah ini sangat dekat dengan Salon Laluna, tempat ia dan Monci bekerja setahun lalu dan bila ia sedikit saja menoleh ke arah kiri, dari tengah-tengah danau ini, di seberang jalan di deretan rumah makan paling ujung bersebelahan dengan lapangan futsal, Ayunda bisa melihat Kedai Portugal. Tempat pertama kali dirinya dan Johar berjumpa.

"Kamu senyum-senyum terus dari tadi. Apa masih harus aku jelaskan alasan bawa kamu ke sini?" goda Johar sambil menjawil dagu kekasihnya.

Ayunda menepis tangan kekasihnya, tapi Johar malah meraih tangan itu, mengenggamnya sambil menatap mesra ke mata kekasihnya. Angin berkesiur membuat riak-riak kecil di permukaan air danau yang kehijauan. Matahari yang telah mulai condong ke arah barat membuat cahayanya yang mengakrabi tubuh sepasang kekasih di atas danau itu tak lagi menyengat. Lama-lama Ayunda jengah dipandangi Johar seperti itu. Ia membuang muka, ganti menatap ke pohon-pohon yang banyak bertebaran di sekeliling danau. Ayunda mengenali beberapanya, pohon dadap merah, pohon tanjung, pohon kiara payung, pohon kersen, dan yang paling besar di ujung danau ada pohon sonokembang dengan bunga-bunga berwarna kuning yang mulai bermekaran.

"Kalau dulu kamu nggak dimintai tolong Bria buat nelpon aku, mungkin kita nggak akan pernah kenal, ya?"

Suara lembut Johar membuat Ayunda kembali memalingkan wajah ke arah sang kekasih. Ia tersenyum sambil meremas tangan Johar yang masih menggenggam tangannya. Tiba-tiba peristiwa itu kembali terbayang di mata membuat hati Ayunda merasa sedih. Segala ingatan tentang Bria memang selalu membangkitkan sisi melankolis dalam dirinya.

"Hape saya lowbat. Tolong kamu telponin Johar. Minta dia datang ke sini."

Bria memasuki Kedai Portugal dengan langkah-langkah gesit dan raut wajah yang masih menampakkan kemarahan. Di belakangnya Ayunda dan Monci terbirit-birit berusaha mengimbangi langkah kaki gadis berambut biru menyala itu.

"Nomornya berapa, Kak?" Ayunda mengeluarkan telepon genggam lalu mulai menekan nomor telepon yang disebutkan Bria dengan cepat.

Bria menarik bangku di sudut belakang, duduk dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, matanya masih tampak nyalang membuntang.

"Ngg ... Monci boleh pesen makarena tinta, Kak B? Soalnya Monci udin lapangan bola."

Takut-takut Monci bertanya ke arah Bria sambil menarik bangku di di sebelah Ayunda yang sedang berbicara dengan lelaki yang dimaksud Bria. Makhluk antah berantah berambut merah kusam itu lalu bertepuk tangan kesenangan ketika dilihatnya Bria mengangguk. Dipanggilnya pelayan lantas mulai menyebutkan menu yang paling spesial di kedai tersebut.

"Waktu aku menelepon itu kamu kedengaran sangat khawatir waktu aku bilang Kak B habis mukulin orang," lirih Ayunda sambil matanya menerawang, "kamu dulu naksir Kak B, kan?" Suara Ayunda makin pelan.

"Ya, sempat suka. Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah punya kamu."

Johar mengeratkan genggaman. Ayunda menoleh ke arah Johar, melihat kesungguhan di mata kekasihnya, lalu tersenyum. Sebenarnya ia tak mempermasalahkan jika benar Johar menyukai Bria. Siapapun akan dengan mudah menyukai gadis istimewa tersebut termasuk dirinya yang dahulu begitu menggila-gilai gadis dengan potongan rambut tak biasa itu yang dicat biru menyala. Ayundalah yang melihat semua proses perubahan Bria, saat Bos Milo mulai memotong rambut hitam panjang yang amat indah itu sesuai foto yang ditunjukkan lalu mengecatnya dengan warna pilihan Bria. Ayunda mengagumi keberanian gadis itu dalam mengubah penampilannya.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang