21 - Pertemuan

92 15 0
                                    

Jantungku berdebar keras. Kelana bilang, hari ini aku bisa bertemu dengan gadis itu. Gadis yang kupikir punya penderitaan hampir sama denganku. Entah mengapa, rasanya aku dan dia begitu dekat. Padahal aku belum pernah bertemu dengannya dan Kelana juga baru satu kali bercerita tentang dirinya. Apa ini yang dinamakan deja vu, seperti yang dikatakan orang-orang? Tapi rasanya berbeda. Aku tidak merasa pernah mengalami hal seperti ini. Aku merasa, gadis itu adalah seseorang yang lama kurindukan dan kami akan bertemu setelah sekian lama dipisahkan. Aneh. Sungguh-sungguh perasaan yang aneh. Jatuh cinta pada Kelana saja tidak membuat jantungku seperti ini. Seolah jantungku jatuh ke perut dan rasanya mulas melilit.

Kelana tidak menjelaskan, mengapa gadis itu bisa ada di sini. Di rumah sakit ini. Apa dia menderita sesuatu pada jiwanya? Apa ada yang tidak beres pada otaknya? Atau dia sekadar korban ketidakjelasan kasus, sama sepertiku. Kelana bilang, dia dan Dokter Arman akan mempercepat proses terapiku. Sesuatu yang seharusnya mereka lakukan sejak dulu. Kelanalah yang mencegah Dokter Arman menerapkan metodenya. Kelana ingin melakukan sedikit penelitian padaku. Dia percaya jika metode miliknya akan memberikan hasil lebih baik. Dia bilang, aku bukan saja akan diobati tapi akan terlahir menjadi individu baru.

Baiklah. Aku menunggu saat itu. Saat di mana aku menjadi individu yang benar-benar baru. Bisa hidup tanpa bayang-bayang masa lalu yang seolah menggerogoti jiwaku. Toh, Bapak sudah mati dan Ibu ..., apa kabar Ibu? Apa dia sungguh-sungguh tidak merindukanku?

"Pagi, Abby? Bagaimana perasaanmu hari ini?" Dokter Arman masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu. Membuatku sedikit terlonjak.

"Sama seperti hari-hari sebelumnya, Dok." Aku menyunggingkan senyum sedikit. Itu benar, perasaanku tidak berbeda dengan hari-hari kemarin. Apa yang bisa membuat hariku menjadi lebih baik jika setiap hari terkurung di tempat yang sama? Aku tidak dipenjara, tapi aku juga bukan manusia bebas seperti seharusnya.

"Kelana sudah menyampaikan apa yang akan kita lakukan hari ini?" Dokter Arman mengambil posisi tak jauh dari tempatku berdiri. Aku sedang malas duduk, jadi sedari tadi kerjaku hanya mencoret-coret dinding. Membuat garis-garis lurus lima buah kemudian kulingkari. Sedikit berbeda dari kebiasaanku di rumah Bapak.

"Kelana bilang aku akan bertemu seseorang."

"Itu benar. Tapi sebelumnya, saya ingin kamu mengingat beberapa hal. Bisakah?" Aku menghentikan aktivitas dan memandang Dokter Arman.

Kutelisik lelaki yang mendekati setengah abad ini. Rambut kelabunya tersisir rapi seperti biasa, belah pinggir. Kacamata berlensa bulat bertengger di hidungnya yang bulat dan kemerahan ujungnya. Dokter Arman suka tersenyum. Matanya teduh dan tulus. Sesekali bisa kulihat juga rasa lelah membayang di sana.

"Tidak ada ingatan baru, Dok. Masih sama seperti kemarin-kemarin." Seperti sudah kuprediksi, Dokter Arman tersenyum mendengar jawabanku. Ia memang selalu tersenyum pada setiap situasi. Mungkin dia juga tersenyum ketika marah.

"Coba kembali ke kamarmu, Abby. Ingat kembali, apa yang kamu lihat malam itu?"

Aku lelah, lelah dengan pertanyaan ini. Sudah puluhan kali kujawab dan jawabanku tak pernah berubah.

"Bapak ..., tergantung di kayu penyangga atap. Matanya membelalak, lidahnya terjulur." Terbiasa dengan jawaban berulang membuat nada bicaraku terdengar datar. Atau mungkin dingin? Rasanya seperti benar-benar aku yangmembunuh Bapak.

Tidak! Aku bukan pelakunya. Bahkan aku tidak ingat bagaimana aku bisa menggantung Bapak di kayu penyangga atap.

"Apa bapakmu gantung diri atau seseorang menggantungnya?"

"Aku tidak tahu. Yang kuingat Bapak sudah melayang di depanku. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana Bapak melakukannya," jawabku mulai gelisah, "sampai kapan pertanyaan ini akan diulang terus?"

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang