12 - Di Antara Hujan

109 13 0
                                    


Mata Bria mendadak terpentang lebar-lebar. Pandangannya menghunus pada lelaki bertubuh besar yang berada di antara kakinya. Entah dari mana datangnya kekuatan baru yang ia rasakan mulai memompa deras aliran darah, mengirimkannya  ke seluruh tubuh dan otak, men-charge daya tahannya yang semula lemah menjadi berlipat-lipat kali bertenaga. Dengan kekuatan penuh ia menolakkan kaki kanannya ke dada sang ayah yang langsung tersungkur ke kaki ranjang. Bria membereskan pakaiannya yang kusut masai lantas dengan mata terus terhunus ke mata sang ayah, ia mulai menuruni ranjang. Satu tendangan lagi dilayangkannya ke wajah bulat milik si lelaki yang tak memperkirakan akan adanya serangan susulan. Ia berteriak marah, tapi belum lenyap suara teriakannya satu pukulan menghantam hidungnya, sambung-menyambung, bertubi-tubi hingga si lelaki merasa pandangannya mulai berpendar-pendar.

"Bagaimana rasanya ada di posisiku ... Pak?"

Bria mendesis tajam. Suaranya dalam dan penuh ketenangan selagi ia menghampiri lelaki yang terkapar nyaris telanjang bulat di lantai kamar.

"Mau apa kamu, heh?!"

Si lelaki berkumis lebat surut ke belakang sambil menahan pening yang mendera kepalanya. Ia celingukan mencari-cari pakaian dalamnya dan saat dilihatnya apa yang dicari teronggok di dekat lemari pakaian, dengan setengah merangkak ia menuju ke sana lantas dengan susah-payah berusaha memakainya. Namun, satu tendangan menghajar punggungnya hingga si lelaki kembali tersungkur dengan celana dalam tersangkut di salah satu kakinya.

"Buat apa dipakai? Bukannya kita tadi mau bersenang-senang?"

Bria berkacak pinggang, mengamati lelaki berwajah bulat di depannya yang tergesa-gesa memakai kembali celana dalamnya sambil menahan nyeri di bagian punggung.

"Dasar, Anak Kurang Ajar. Kamu pasti sudah kerasukan setan penghuni kamar busukmu ini! Berani-beraninya kamu sama ... aarrghh!"

Satu tamparan keras membuat lontaran kalimat si lelaki terhenti sebelum mencapai akhirnya. Ia kembali terhempas ke belakang setelah lagi-lagi satu tendangan telak menikam dadanya. Sang ayah mendengus kasar. Luapan emosi yang telah bersarang di ubun-ubunnya perlahan namun pasti menguap berganti ketakutan yang tampak nyata berkecamuk di lembing matanya.

"Anak Setan! Yaa, kamu pasti Anak Setan! Kamu telah kerasukan makhluk jahanam itu makanya kamu ikut-ikutan berubah menjadi jahanam! Rasakan ini!"

Dengan sisa-sisa keberaniannya si lelaki berkumis lebat yang kehilangan kesangarannya itu melayangkan tamparan ke wajah gadis di depannya. Bria bergeming menanti serangan itu datang. Namun, di sepersekian detik tangan besar itu hampir mencapai pipinya, tangan Bria secepat kilat menangkap pergelangan tangan si lelaki lantas memelintirnya ke belakang tubuh lantas mendesakkan tubuh besar itu ke tembok kamar. Si lelaki menjerit kesakitan. Wajahnya membentur tembok, pergelangan tangannya terkunci jari-jemari sang anak. Napasnya mendengus-dengus kasar, keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhnya yang telah dibuat babak belur anaknya sendiri.

"Apa rasanya berada di posisiku sekarang, heh, Pak?"

Bria melepaskan kuncian jemarinya, membiarkan lelaki bertubuh besar dengan wajah bulatnya yang tampak ketakutan  menuju pintu kamar dan bergegas berlari ke luar.

Bria bergumam pelan. Matanya masih terhunus di langit-langit kamarnya, di satu titik ketika segala lamunannya berawal mula. Gadis berperawakan atletis itu segera bangkit dari atas ranjang ketika didengarnya tetes-tetes hujan bergerombol datang, memukul-mukuli kaca jendela. Dengan sangat perlahan dikuaknya daun jendela, merunuti jejak-jejak basah yang bergelayut di batang-batang mawar di muka jendela tersebut. Raut wajahnya teramat sedih ketika kembali suara-suara bergiliran datang, merasuki pikirannya.

'Gadis bodoh. Lo masih lemah kalau tetap ngakuin lelaki itu bapak lo. Bodoh. Tolol!'

'Aku tidak bodoh. Aku tidak tolol. Aku takut.'

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang