"Abigail! Harusnya kamu jadi kujual saja! Sudah ada yang bersedia membayar keperawananmu dengan harga tinggi. Tapi, dasar, ibumu yang mendengar rencanaku langsung kejer macam kamu tadi. Benci aku melihat kalian, perempuan, bisanya cuma nangis!"
Suara itu, suara menggelegar yang gusar dan tak sabaran. Suara yang memanggil lengkap namaku jika sedang marah. Aku melihat percikan api berpijar di plafon kamar. Panasnya siap membakar. Panasnya membuat aku meringkuk semakin dalam. Aku benci jika Bapak memanggilku dengan nama itu. Aku benci sekaligus takut!
Hujan. Di luar hujan. Hujan, bisakah deraianmu membasuh luka-lukaku?
"Padahal kalau transaksi itu berlanjut, saat ini aku sudah ongkang-ongkang kaki sambil kipasan pakai duit. Bukannya jadi susah kayak sekarang gara-gara kamu!"
Bapak semakin cepat berpindah ke kiri dan ke kanan. Tangannya bergerak tak beraturan. Mukanya merah. Bau alkohol menguar ke segala arah bercampur dengan aroma busuk tubuh Bapak yang jarang mandi. Aku mual!
"Sekarang aku harus bagaimana, hah?! Di rumah nyusahin! Dijual nggak bisa! Hoo ... aku tahu. Sini, sini kamu. Sini!
Langkah Bapak besar-besar menghampiri diriku yang terpuruk di lantai kamar, menjenggut rambutku, menyeret tubuh yang telah penuh lebam-lebam hingga jeritan sakit putus-putus keluar dari mulutku. Suaraku telah habis.
"Kalau keperawananmu tak bisa kujual, setidaknya bisa kunikmati sendiri tubuh berengsekmu, Anak Sialan!"
Tidak! Jangan! Tolong! Siapa pun, seseorang, tolong aku!
Dalam keadaan setengah sadar, aku melihat Bapak menurunkan celana dalamnya. Pikiranku mengejang hebat. Rasa sakit dan pemberontakan meledak-ledak dalam diriku. Kepalaku sakit. Bukan karena pukulan-pukulan Bapak, tapi karena pikiranku berusaha mencari keberanian dan kekuatan yang bisa membuatku lepas dari masalah ini.
Seseorang ..., seseorang ..., Tolong aku!Sekelebat bayangan gadis punk berambut biru terang melintas di benakku, suara Brian, potongan-potongan kejadian masa lalu dan masa kini berputar silih berganti. Begitu cepat, sangat cepat, makin cepat, hingga akhirnya aku merasa melayang, merasa hilang, aku bukanlah aku. Aku tenggelam, sangat jauh, begitu jauh, terlalu jauh, hingga aku lupa caranya menyembul ke permukaan.
"Hai, Abby."
Sosok Bapak menghilang. Kamarku menghilang. Aku berada jauh dari rumah. Jauh dari keriuhan. Sendirian di dasar danau dengan cahaya matahari yang begitu temaram di permukaan. Bisa kulihat bayangan riak air di permukaan pada dasar danau yang terkena cahaya.
Namun aku tidak sendirian. Seseorang berdiri tepat di depanku. Sosok samar yang perlahan menjadi jelas. Dia ... sepertiku. Tidak! Dia lebih tinggi dariku dengan punggung sedikit bongkok dan kaki serta tangan yang kokoh dan otot-otot bertonjolan. Rambut mohawknya berwarna biru terang, baju dan celana kulit membalut tegas tubuhnya. Wajahnya ibarat cermin diriku. Cantik. Tapi tidak selemah dan penakut seperti diriku. Dia cantik, tapi menakutkan.Dia kuat.
Sebagaimana Brian menitipkan namanya padaku, seperti itulah diriku yang kuat akan melindungi diriku yang lemah.
"Bria ...," desisku. Dia berjalan mantap mendekatiku. Tangannya terjulur dan menyentuh dahiku.
"Tidurlah. Lupakan segala kesusahanmu. Kini saatnya aku mengambil tempat."
Dia meletakkan telunjuknya di bibirku lalu berjalan mundur hingga cahaya menaunginya penuh. Kepalanya ditengadahkan ke atas. Bria memejamkan mata dan sinar terang memecah partikel tubuhnya menjadi gelembung-gelembung kecil yang berhamburan dan melesat cepat ke permukaan air.
Aku terjatuh. Kegelapan membungkus dan memakan ingatanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/193217913-288-k479265.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTORSI
Mystery / ThrillerAbby, gadis 18 tahun korban KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri. Bria, gadis punk yang menyimpan rahasia kelam kehidupan keluarganya. Ketika Ayah Abby ditemukan mati gantung diri di kamar tidur Abby, tuduhan dan bukti-bukti mengarah pada g...