15 - R e n g g a n g

105 16 0
                                    

"Selamat siang, Mas Kelana." Dua orang perawat perempuan berpapasan dengan kami di koridor. Mereka cekikikan dan saling bisik. Kelana membalas sapaan mereka dengan senyuman ramah. Aku menyikutnya. Sebal.

"Apa?!" tanyanya pura-pura bodoh.

"Apa kamu harus bergenit-genit dengan mereka?"

"Ow! Jangan bilang kalau kamu cemburu, Abby." Kelana mengedipkan sebelah matanya dan senyum separuhnya tersungging.

"A-aku? Oh! Ti-tidak. Ma-mana mungkin aku cemburu? Jangan berkhayal!" Setengah kesal, aku mempercepat langkah kaki menuju musala rumah sakit.

Hari ini Kelana minta izin pada Dokter Arman untuk membawaku berjalan-jalan di sekitar North Mental Health Centre, rumah sakit tempatku dirawat. Kondisiku cukup terkontrol. Aku masih sering kehilangan kesadaran, tapi tidak berlangsung lama. Semakin kuat keinginanku untuk keluar dari danau, semakin cepat aku sadar. Dan satu hal yang juga sangat menolong adalah perasaanku yang selalu bahagia. Kelana sangat berperan di sini. Perasaan yang dia berikan membuat kepercayaan diriku semakin tumbuh dan aku tak membutuhkan tempat manapun untuk bersembunyi. Kelana mengajari cara menghadapi dunia dan permasalahannya.

Tapi dia lupa mengajari satu hal, mengajari caranya supaya tidak cemburu. Bagaimanapun juga usiaku masih terbilang remaja bukan? Jatuh cinta dan cemburu itu satu paket. Dan aku belum pernah merasakan keduanya sebelum ini.

"Saya suka kalau kamu cemburu. Itu artinya kamu benar-benar sayang sama saya," ujarnya lembut. Kupikir dia akan membiarkanku beberapa saat sebelum menyusulku ke bangku-bangku yang berjejer di bawah pohon beringin di depan musala. Mungkin dia masih sedikit khawatir melepasku sendirian tanpa pengawasan.

Bagaimanapun aku masih tanggung jawab Dokter Arman. Jika terjadi sesuatu yang membahayakan selama aku bersama Kelana, bisa jadi Dokter Arman akan mencabut izin berkunjung Kelana dan aku dikirim ke ruang isolasi.

"Sudah kubilang aku tidak cemburu," sahutku ketus.

"Lalu kenapa tadi melarikan diri?" Kelana menyentuh lenganku namun kutepis. Entah kenapa, rasanya kesal sekali membayangkan dia beramah-ramah dengan perawat tadi. Padahal hanya sebentar dan sekilas. Jangan-jangan,  jika dia sedang tidak bersamaku, dia asyik mengobrol dengan beberapa perawat di bagian depan. Mereka yang bekerja di bagian administrasi bertampang jauh lebih menyenangkan dan ber-makeup lebih tebal ketimbang para perawat yang bersinggungan dengan pasien.

"Aku malas melihatmu yang menggoda para perawat itu," sahutku masih ketus.

"Bukan saya yang memulai. Mereka yang menyapa, tidak mungkin, kan saya cuekin?"

"Tapi kamu, kan tidak harus tersenyum terlalu lama dengan mereka."

"Jangan merajuk, Abby. Kamu, kan tahu bagaimana perasaan saya sama kamu."

Suaranya lembut merayu. Di kejauhan, aku bisa mendengar lonceng-lonceng kuil berdenting menyanyikan lagu suka cita. Hatiku menggembung dan udara tiba-tiba menjadi lebih hangat.

"Aku tidak merajuk. Buat apa? Tidak ada manfaatnya. Bukankah katamu, sebaik-baiknya manusia itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain?"

Kudengar Kelana tertawa geli. Omonganku mulai ngawur, terlihat jelas jika sebenarnya aku sedikit grogi setelah dia merayu tadi.

"Yuk!" Kelana berdiri dan mengulurkan tangan.

"Ke mana?" tanyaku heran. Aku belum puas merajuk.

"Bukankah tadi kita berencana ke musala dan mendengar tausiyah bulanan di sana? Kamu bilang ingin menambah ilmu. Bukan sekadar omongan yang saya sampaikan atau dari buku yang saya berikan."

"Tiba-tiba aku malas. Aku mau kembali ke kamar saja."

Tanpa memedulikan uluran tangannya, aku berjalan cepat menyusuri koridor dan ingin kembali ke kamar secepatnya. Kelana mencoba mensejajari langkahku. Dia berusaha membujuk dan menenangkan aku yang terlihat sedikit emosi. Dalam hati aku tersenyum. Menikmati rasanya diperhatikan berlebihan oleh Kelana.

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang