13 - Kehangatan

126 17 0
                                    


"Ada seseorang!"

Napasku memburu. Perlahan indra-indraku berfungsi kembali. Lampu kamar telah dinyalakan. Tirai-tirai sudah diturunkan. Hanya ada Kelana di hadapanku. Seharusnya dia sudah pulang, karena jam berkunjung pasti telah lama berlalu. Kutebak sebentar lagi akan ada perawat yang datang dan menegur agar Kelana segera meninggalkan kamar.

"Berapa lama aku pergi?"

Kelana sudah tahu, ke mana aku pergi jika tiba-tiba pikiranku menghilang. Kukatakan padanya jika aku seperti ditarik ke dasar danau. Tenggelam, tapi masih bisa bernapas, berjalan, bahkan bersuara.  Seperti berada dalam sebuah ruangan kosong yang luas dengan dinding-dinding kegelapan. Penerangan hanya berupa sinar matahari yang jatuh di permukaan dan selalu mengikuti ke mana langkah kaki bergerak. Seolah berada di panggung dengan lampu sorot hanya untuk diriku.

"Cukup lama untuk membuat saya cemas."

Kuperhatikan memang air mukanya tidak setenang biasa. Keningnya berlipat lebih banyak dan dia menggigit ujung bibirnya sedikit.

"Kamu tidak mengaji atau menyetel murotal untukku?"

Kelana tidak menggubris pertanyaanku. Pikirannya sibuk sendiri dan kini dia mondar-mandir sambil menepuk tinju ke telapak tangan.

"Katamu ada seseorang. Apa dia salah satu orang dari kenanganmu yang lain?"

Aku menggeleng. Itu bukan kenangan. Seseorang itu berbicara padaku. Pasti ada alasannya mengapa dia tak mau menampakkan diri. Atau belum mau. Tapi suaranya begitu dekat, seolah aku bisa mendengar desah napasnya, juga gerakan tubuhnya yang tak mau diam.

"Ia mengancam akan membunuhku. Apa kenangan bisa mengancam? Bapak sering mengancam akan membunuh jika kulaporkan perbuatannya yang suka memukul. Tapi suara itu bukan suara Bapak. Suara itu suara perempuan. Ia seolah tak sabaran dan ia membenciku!"

Kutangkupkan kedua telapak tangan ke wajah. Kakiku bergerak mundur hingga menyentuh sisi ranjang. Perlahan kuturunkan pinggul dan duduk di tepian ranjang. Tanganku membuka, turun menjuntai ke sisi tubuh. Kelana masih di sana, di hadapanku. Mendengar dengan saksama dan menanti kelanjutan ceritaku dengan sabar.

"Ia bilang aku tak boleh menghilangkan dia begitu saja. Kuminta ia menampakkan diri, tapi ia menolak. Ia menyuruhku mengingat dan jika aku gagal, maka ia akan membunuhku. Tidak, bukan membunuh tepatnya. Ia bilang aku akan mati. Aku akan mati seperti Bapak. Dengan mata melotot dan lidah terjulur. Aku akan mati! Mati Kelana! Tidak! Tidak! Aku belum mau mati!"

Aku belum mau mati setelah menyadari tak ada bekal untuk mengantarku menjemput kematian. Amalan-amalan yang masih sedikit, kewajiban-kewajiban yang sering lalai, kebaikan-kebaikan yang tak pernah kutebar, dan ..., dan ..., dan aku? Aku bahkan belum bertaubat!
Aku menyekutukan Allah!

Ketika seharusnya aku berlindung kepada-Nya dari kekejaman Bapak, memohon agar hati Bapak dapat dilembutkan, meminta ampun untuk Bapak dan juga Ibu, ketika seharusnya aku membawa mereka ke surga, aku malah memohon kepada sesuatu yang lain. Sesuatu yang saat itu kuyakini lebih kuat, lebih maha, lebih segalanya dibanding Dia. Aku lupa. Sungguh-sungguh lupa jika aku masih memiliki-Nya. Aku malah berharap orang lain yang menolong. Gadis punk di Kota Hilang juga Brian dengan janjinya yang akan menjemput dan membawaku ke London.

"Janji manusia mudah sekali ingkar. Berbeda dengan janji Allah. Dia hanya meminta kita taat, patuh, dan melaksanakan semua aturan-Nya, maka pertolongan-Nya akan selalu ada."

Kata Kelana pada suatu senja, ketika matahari begitu malas untuk beristirahat. Dia mengajakku berjalan di taman dan bercerita banyak hal. Waktu itu dia masih kuanggap sedang melakukan penelitian terhadapku. Kelana percaya satu metode, jika aku bisa hidup normal kembali ketika jiwa dan ragaku telah sepenuhnya berserah diri pada Sang Pencipta. Kelana mencoba menyembuhkan batin dan membentuk pribadiku yang baru.

"Abby ..., Kamu tidak akan mati. Di sini kamu aman. Orang luar tidak akan mudah masuk kemari. Siapa yang kamu pikir akan mencelakakanmu?"

"Bukan di sini. Tapi di dalam sini." Aku menunjuk kepalaku.

"Itu hanya suara kecemasanmu. Kamu menganggapnya ada padahal sebenarnya tak ada. Pikiran bisa menipu kita, Abby," Kelana menarik kursi dan duduk di hadapanku, "pernah ada cerita si A melihat pesawat asing di langit. Ia menceritakan penglihatannya itu kepada si B. Begitu yakin ia menjelaskan sehingga seolah si B itu ikut melihat pesawat asing tersebut. Lalu si B ini bercerita kepada si C dengan meyakinkannya. Hingga akhirnya si B sendiri merasa yakin bahwa ia sendirilah yang melihat pesawat itu. Kamu paham, kan, Abby? Kita bisa meyakini suatu kebohongan karena kita sendiri yang membuat yakin."

"Jadi maksudmu, suara seseorang di danau itu tidak ada? Itu hanya imajinasiku?"

Kelana mengangguk. "Kamu harus menghalau pikiran itu. Katakan pada dirimu sendiri kalau itu tidak nyata. Perkuat zikir agar hatimu lebih tenang. Jangan biarkan pikiranmu kosong, penuhi dengan kalimat-kalimat Allah. Pagi, siang, petang, malam. Insya Allah kamu tidak perlu lagi pergi ke danaumu itu dan berdiam di sana."

Aku memandang Kelana. Mungkin dia benar, pikiranku sudah sering kosong dan aku membiarkannya melantur ke mana-mana. Entah setan mana yang bersarang di pikiranku saat ini. Benar kata Bapak, dia pernah bilang jika aku mungkin dirasuki setan sehingga kelakuanku menjadi buruk. Kadang kala Bapak begitu ketakutan melihatku dan memilih menghindar. Namun ketika pikirannya dikacaukan oleh minuman keras dan narkoba, Bapak melampiaskan kesalnya dengan memukuliku. Meski aku sudah menjadi anak baik dan tak melakukan kesalahan apa pun.

"Kelana, selama aku di sini, apa pernah kamu bertemu ibuku?" Tiba-tiba bayangan sedih ibu melintas dan aku diliputi rasa rindu pada perempuan yang dulu sering memeluk dan membacakan cerita untukku.

Kelana menggeleng.

"Kamu merindukan dia?"

"Sedikit. Dia orang tuaku satu-satunya Kelana. Dia ibuku." Aku membuang muka, menghindari tatapan menyelidik Kelana.

" Saya akan coba mencari tau tentang dia. Kamu ... keberatan?"

"Tidak. Sama sekali tidak. Hanya saja ...."

"Kenapa?"

"Aku takut. Terakhir kali aku menatap matanya, saat aku diborgol dan dibawa polisi, dia begitu takut Kelana. Dia bukan takut aku akan dihukum atau takut berjauhan denganku. Bukan. Dia ..., dia ..., dia takut padaku. Ya. Dia takut padaku, Kelana. Dan aku takut perasaanku benar. Bagaimana jika ternyata aku sebenarnya memang berbahaya. Mungkin ketika aku dalam fase tidak sadar, aku pernah berbuat hal mengerikan yang membuat Ibu ketakutan."

"Semacam mengeluarkan laser dari mata atau berubah menjadi makhluk hijau yang buas?"

"Jahat!" Aku melempar bantal kepada Kelana. Tawaku berderai. Bahagia.

"Tetaplah tertawa Abby. Selalulah tersenyum. Apa pernah ada yang bilang, kalau tawamu begitu indah?"
Wajahku menghangat. Dadaku juga hangat. Rasanya ribuan semut menggigiti kulitku dan aku bahagia.

"Seseorang justru menyukai wajah muramku." Kelana tergelak. Tawa yang semakin membuat dadaku panas.

"Dia harus periksa ke dokter mata. Pasti ada yang salah dengan lensa matanya. Atau mungkin dia belum pernah melihatmu tertawa, ya?"
Bisa jadi. Selama bersama Brian, aku memang tidak pernah tertawa. Selain aku tidak dalam kondisi yang pas untuk berkelakar, Brian juga tidak tahu caranya bercanda dalam Bahasa Indonesia. Kata-kata lucu yang dilemparkan teman-teman padanya kadang ditanggapi serius karena Brian tidak tahu artinya. Bahkan tak jarang Brian tersinggung dan marah.

"Sudah hampir Isya," Kelana melirik jam di pergelangan tangannya, "kamu mau jemaah dengan saya?"

"Boleh? Kupikir jam berkunjungmu mulai dibatasi."

"Siapa, sih yang berani mengusir saya? Perawat-perawat itu pasti mengizinkan saya menginap jika saya mau. Berani taruhan?"

"Dasar genit!"

Kelana tergelak dan menangkap bantal kedua yang kulemparkan. Kami berdua saling pandang dan tersipu. Kelana beranjak ke kamar mandi untuk ambil wudu sedang aku menata sajadah untuk tempat kami salat.

'Jangan senang dulu, Abby. Lo nggak boleh lupa kalau tanpa gue, lo nggak mungkin bisa sebahagia sekarang.' ©

DISTORSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang