Bria melambai ke arah Johar sebelum lelaki itu melarikan laju motornya membelah jalanan dini hari yang masih lengang. Suara azan Subuh terdengar dari corong musala di ujung jalan berbarengan dengan gerakan Bria memutar anak kunci dan menyelinap ke dalam rumah. Udara pagi yang masih beku ikut menyelip masuk melalui celah pintu yang ditutupnya dengan hati-hati. Di dalam rumah masih gulita, tapi lampu teras sudah dimatikan pertanda ibunya telah terjaga. Bria berjalan pelan sambil menyalangkan mata agar tak menabraki barang-barang di sekitar meskipun ia telah hafal mati letaknya. Memasuki ruang makan, langkah gadis itu membeku. Sang ibu muncul dari arah kamar mandi dengan wajah basah. Titik-titik air tampak berkerumun di bagian atas rambutnya, menggemerlap ditimpa cahaya lampu yang mengintip dari pintu kamar yang setengah terbuka. Sesaat sebelum meraih gagang pintu, langkah sang ibu menegang. Ia juga telah menyadari kehadiran sang anak yang berdiri kaku di ujung meja makan yang membagi jarak antara mereka berdua. Dirunutinya penampilan Bria yang berantakan dengan rambut yang pasti sebelumnya tegak berdiri, tapi saat ini terkulai ujung-ujungnya. Keremangan cahaya berhasil menyamarkan jejak lebam yang bersarang di hidung Bria hingga luput dari perhatian perempuan paruh baya tersebut.
'Apakah kau menungguku pulang kali ini, Bu? Ataukah tidak?'
'Anak gadis selalu saja pulang pagi. Mau jadi apa kamu.'
'Mengapa diam saja, Bu? Tak inginkah kau menyambut anakmu ... memeluknya?'
'Malu aku dengan gunjingan para tetangga. Apa kamu tidak memedulikan perasaan ibumu ini?'
'Tahukah, Bu? Aku merindukan kita yang dulu, sebelum orang itu berubah.'
'Terserahlah apa maumu, aku sudah tak ingin lagi peduli.'
'Bu .... aku menyayangimu.'
Sang ibu berpaling, meraih gagang pintu dan menutupnya perlahan tanpa melihat lagi ke arah anaknya. Bria bersungut. Dadanya mendadak sesak. Kepalanya seakan mau meledak. Cepat ditariknya napas panjang, mengisi udara ke paru-parunya penuh-penuh, lalu dengan membusungkan dada ia melangkah pongah menuju kamarnya yang berada tepat di samping kamar sang ibu. Bria membanting pintunya hingga gemanya menderakkan kaca jendela kamar. Gadis berkulit sawo matang itu lalu melempar tubuhnya ke atas ranjang. Masih dalam posisi telentang, ia mengangkat kakinya, mencopot sepasang sepatu bot pendek berwarna hitam, melemparnya begitu saja ke kaki ranjang.
Bria menguap, mengusap wajah dan mengumpat panjang pendek saat jemarinya menyentuh bagian memar di puncak hidung. Ia memejamkan mata, mengingat-ingat kembali apa yang telah dialaminya beberapa jam lalu bersama B & The Brothers, teman-teman band-nya, yang entah karena mukjizat atau bukan, tapi mereka semua dapat lolos dari kerusuhan yang terjadi saat mereka seharusnya tampil di acara musik di daerah Benhur malam tadi.
"Lagian lo ngapain sih, B, pake nyanyi kenceng-kenceng pas situasi lagi genting. Pantes tuh orang yang nggak suka sama Social Distortion nonjok elo."
Pinto selonjor di luar pintu kamar Johar, punggungnya menyender di kusen pintu sementara mulutnya terus saja mengepulkan asap rokok yang bergulung-gulung di sekitar wajahnya membuat kabut tipis di sepasang lensa kacamata minus lelaki berkulit legam tersebut. Dika sudah sedari tadi tertidur pulas di bangku panjang di balkon samping kamar Johar. Sepasang stik drum masih tergenggam di tangan kanannya, menumpang di atas dada. Johar mendesis, mengisyaratkan Pinto agar memelankan suaranya. Mereka memang berada di lantai atas rumah, tapi bukan berarti suara mereka, di heningnya malam ini, tak akan mencapai lantai bawah, di mana kamar orangtua Johar berada. Ia tak ingin mengusik tidur mereka dengan suara-suara yang tak perlu.
Bria mengatupkan rahang kuat-kuat. Ia sudah sangat ingin mendamprat temannya yang satu itu, tapi gelengan lembut dari Johar membuat ia hanya mampu mendengus kasar. Gadis itu sangat yakin ia menyanyi lirih dalam usahanya mengusir ketidaknyamanan yang datang mendadak di tengah acara musik tadi. Ia tidak terima ketika terus-menerus disalahkan Pinto dalam perjalanan pulang menuju basecamp mereka. Teman satu band-nya itu tak akan mengerti apa yang ia rasakan. Pinto juga pasti tak akan memahami alasan di balik ritual tak biasa yang Bria lakukan yang tak mengenal tempat dan waktu. Suatu cara untuk menghadapi ketakutannya sendiri. Ketakutan akan sesuatu hal yang tak pernah ia katakan pada siapa pun meski pada Johar sekalipun.
"Bagusnya Johar yang ada di sebelah lo. Misalkan itu gue, paling lo langsung gue panggul keluar gedung. Ngurusin orang pingsan aja udah susah, ngapain gue sempet-sempetnya bales nonjok tuh Cumi kayak yang Johar lakuin!" Mulut Pinto merepet panjang pendek.
"Lagian lo aneh banget, deh. Pintu keluar penuh sesak, jalan aja sampe pegel gue, karena ternyata cuma jalan di tempat doang. Lah, elo bisa-bisanya mengheningkan cipta kayak pas upacara bendera atau apa pun sebutan lo, buat ngusir apa tadi, deh, lo ngomong? Pokoknya itulah. Aneh banget pokoknya kebiasaan lo, B. Sumpah!"
"Bangke lo, Pin! Kalo sampe kejadian lo yang di sebelah gue dan andai orang pingsan bisa milih, gue juga ogah kalo sampe harus digotong sama elo!" Bria balas menyalak, "perkara gue yang lo bilang mengheningkan cipta, kek, semedi sambil nyanyi kek, meditasi orang aneh, kek. Itu urusan gue, bukan lo! Lagian bukan gue aja yang aneh. Kebiasaan lo ngupil trus lo bungkus upil lo pake wrapping plastic buat dikoleksi kata gue juga aneh. Tapi gue biasa aja, kan? Nggak nyolot kayak lo!"
"Lah, itu lo nyolot, B!"
"Lo berdua bisa diem nggak, sih?! Udahlah ... yang penting kita semua bisa selamat, nggak ikutan diciduk polisi kayak mereka yang jadi provokator kerusuhan tadi."
Johar berusaha mendinginkan hati teman-temannya yang panas. Ditepuk-tepuknya punggung tangan Bria yang duduk di sebelah kanannya untuk menentramkan. Pinto melengos, menatapi jendela yang memburam oleh rintik hujan. Ia sesekali masih mengomel panjang pendek disahuti oleh dengusan kasar Bria. Dika yang memegang kemudi di sebelahnya sedari tadi tak ingin ikut campur dalam adu mulut antara kedua temannya. Ia memilih fokus berkendara dan membawa mereka semua dengan selamat sampai ke kediaman Johar.
"Emang bener gue nyanyinya tadi keras-keras, Har?" bisik Bria setelah sebelumnya sempat melirik ke arah pintu kamar yang terbuka. Pinto masih asyik menikmati rokoknya yang entah sudah batang keberapa.
"Iya," jawab Johar pendek sambil memeras handuk hangat lalu mengusapkannya ke hidung Bria yang hanya bisa terbaring pasrah di atas kasur busa tipis miliknya, "awalnya pelan, tapi makin lama makin kenceng," lanjut Johar.
Bria melenguh antara sakit dan nikmat. Usapan handuk hangat di hidungnya yang dilakukan Johar nyata sedikit demi sedikit meredakan nyeri menusuk yang menyiksanya sepanjang perjalanan dari tempat acara musik berlangsung ke basecamp mereka di rumah Johar. Ya, mereka sudah menahbiskan bahwa rumah Johar adalah yang paling layak untuk dijadikan markas mereka, bukan karena alasan kemewahan yang mereka dapat, karena jauh dari itu, tapi karena kebebasan yang bisa mereka peroleh. Kedua orangtua Johar juga tidak pernah keberatan dengan keberadaan Bria sebagai satu-satunya teman perempuan yang tiap-tiap kali ikutan muncul di pagar rumah bersama Dika dan Pinto, bersalam sambil cengar-cengir sebelum ketiganya berebutan naik ke tangga kayu yang tepat berada di sisi kiri teras rumah dan langsung menuju kamar anak lelaki mereka di lantai atas.
"Makasih ya, Har." Bria kembali berbisik. Jemarinya bergerak meraih pergelangan tangan Johar agar berhenti sejenak dari kegiatan mengurus dirinya.
"Sama-sama," balas Johar. Mata mereka bersitatap. Sesuatu di hati Johar memekar. Tak dirasakannya lagi kaki yang sedari tadi kesemutan karena duduk bersila terlalu lama mengurus gadis yang terbaring di hadapannya ini. Wajah mereka demikian dekat. Johar ingin sekali mengecup Bria. Keinginan itu semakin meledak-ledak ketika dirasakannya Bria memberikan sinyal untuk itu. Johar menahan napas, menjulurkan kepalanya lebih jauh ke bawah ke arah wajah Bria, ketika tiba-tiba ....
"Buset deh, rokok gue tinggal sebatang! Bagi rokok lo dong, Har!"
Johar memaki dalam hati, tapi toh diraih pula rokok yang tergeletak di atas meja di sudut kamar, melemparkannya ke arah Pinto. Saat Johar berbalik kembali menghadap Bria dilihatnya gadis itu telah memejamkan mata. Dadanya bergerak turun naik, napasnya halus terdengar di kamar kecil Johar yang sesak oleh barang-barang pribadinya. Johar akhirnya memilih ikut berbaring di sebelah Bria, di lantai kayu yang dialasi selembar karpet usang yang cukup memberi kenyamanan. Semilir angin malam yang menyelusup dari jendela yang terbuka mengusap-usapi mata Johar membuat lelaki dua puluh tahunan itu perlahan-lahan memejamkan mata. Sayup masih terdengar olehnya suara Pinto yang merutuk dari luar kamar.
"Yaelaahh, gini hari udah pada tidur. Gue sendirian lagi yang jaga kandang, deh." ®
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTORSI
Детектив / ТриллерAbby, gadis 18 tahun korban KDRT yang dilakukan ayah kandungnya sendiri. Bria, gadis punk yang menyimpan rahasia kelam kehidupan keluarganya. Ketika Ayah Abby ditemukan mati gantung diri di kamar tidur Abby, tuduhan dan bukti-bukti mengarah pada g...