5. Pa

3.6K 521 20
                                        

"Gimana kerjaan?" Tanya Papa ketika kembali ke meja bersama dengan kopi panasnya.

"Lagi gak tau situasi kantor Pa, sibuk ngurus thesis, jadi bolak-balik kampus rumah."

"Kelar, Put?"

"Kelar Pa!" Aku tersenyum, Papa selalu bersedia memanggilku dengan sebutan Putra. Nama tengah kami semua.

"Bagusss! Bangga Papa sama kamu!" Ucapnya sambil menepuk bahuku.

Kapan coba Mama yang ngomong gitu? Pekerjaanku di bidang keuangan ini gak pernah sreg di mata Mama, jadi apapun yang aku lakukan, itu tidak pernah membuatnya puas. Beda sama Rasyid. Ah iya, Rasyid.

"Papa besok mau ke Kak Rasyid?"

"Yeah, dia ulang tahun, mau bareng?"

"Aku pasti sama Mama, Pa. Pagi-pagi. Kalau sore gimana?"

"Dua kali dong kamu?"

"Ya emang kenapa?"

"Okee, tapi nanti kita beli bunga ya? Kamu bawa pas pergi sama Mama, biar Rasyid berasa kalau datengnya bertiga."

Aku mengangguk.

"Gimana temen-temen nongkrongmu itu? Kamu gak dicari nih?"

"Sehat-sehat semua mereka, Pa. Yailah, sehari gak ikut gabung gak dosa kali."

"Yang di luar negeri udah balik?"

"Balik, istrinya hamil, ngidam pulang ke sini, paling berangkat lagi nanti, soalnya pengin anaknya lahir di Jerman, biar gaya."

"Hahahaha! Temen kamu udah mau punya anak, kapan kamu Put?"

"Santai, aku punya pacar nanti, kalau 2 temen bringasku pada udah nikah."

"Siapa?"

"Rifan sama Vino."

"Masa nunggu yang gak jelas?"

"Hehehehehe biarin."

Papa hanya terkekeh. Untung lah Papa gak maksa aku harus buru-buru perpasangan. Ribet soalnya euy.

"Papa udah ngopinya, move yuk? Laper."

"Mau makan apa kamu malem ini?"

"Seafood enak kayanya Pa, atau sate taichan?"

"Boleh sate taichan, pengin yang pedes-pedes kayaknya."

"Oke, Papa nyetir aku buntutin naik motor ya?"

"Jangan, kamu duluan, tek tempat sama pesen makanan."

"Owkaay!"

Kami berjalan bersama ke parkiran, Papa ke tempat mobil, aku ke tempat motor. Tanpa menunggu Papa, aku langsung mengarahkan motorku ke tempat makan sate taichan pinggir jalan yang rasanya gak bisa diremehin.

Sekian menit di jalan, aku sampai. Warung tenda ini lumayan ramai, aku langsung memesan 2 porsi sate plus lontong, lalu tambahan sate kulit, sate telur dan tentu saja, sate usus.

Aku sudah dapat tempat, tinggal menunggu Papa dan makanan datang. Duduk sebentar kulihat Papa datang.

"Lumayan yak, jalanan lancar."

"Jalan utama lancar, jalan arteri macetnya kaya apa tau, Pa."

"Hahahaha iya sihh, tinggal liat pulang aja gimana."

Pesanan makanan datang, aku dan Papa menyantap sate taichan ini dalam diam, saat makan selesai, aku mengajak Papa keluar, untuk rokokan di pinggir trotoar.

"Put, ada yang mau Papa omongin sebenernya."

"Apa Pa?" Tanyaku, yang kutahu Papa memang bukan orang yang suka basa-basi.

"Papa ada rencana menikah, boleh?"

Aku menahan rokok yang ingin kuhisap ini di udara, melirik Papa yang fokus menatapku tajam.

Tersenyum, aku kemudian menghisap rokokku.

"Boleh lah Pa, itu hak Papa. Lagian, udah lama banget Papa sama Mama cerai."

"Kamu tau? Niatnya Papa tuh gak mau egois sebelum kamu berkeluarga."

"Pa, jodoh mah ada yang ngatur, kalo Papa duluan yang dapet pendamping, kenapa engga?"

"Iya sih, tapi kamu tenang aja, Papa gak akan sampe lupa sama kamu kok."

"Siaappp! Lagian, kalo Papa lupa aku tinggal ke rumah Papa."

Papa tersenyum. Aku tersenyum melihatnya tersenyum. Di umur Papa yang sudah tidak muda lagi, memang perlu ada yang mendampingi. Ada yang diajak bicara sebelum tidur, dan perlu ada teman berbagi cerita.

Papa berhak punya pasangan lagi, yang akan menemani hari-hari tuanya.

******

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

Singgah yang SungguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang