16. Scar

2.3K 448 21
                                    

"Kalo pun lo cuma temennya, gue sih malah pengin temen kantornya tau cerita sebenernya, kasian abisnya kalo denger dia cerita, kayaknya beban banget." Ucap Rediza.

Aku belum paham ke mana arah pembicaraan ini. Tapi yang kutahu, sepertinya aku tak lama lagi akan mengetahui cerita Sacy.

"Emang dia kenapa?" Tanyaku.

"Adek gue itu, waktu SMA punya pacar gitu, dia gak pernah cerita kalau pacarnya tuh suka nyiksa dia."

Rediza berhenti cerita sesaat, terlihat ia mengatur emosinya. Aku sendiri masih agak kaget, karena gak pernah punya pengalaman atau cerita temen yang ada di abusive relationship.

"Ini nyiksa fisik apa psikis?" Tanyaku.

"Dua-duanya, Put... eh gue panggil lo Putra gak apa kan? Kita kayanya seumuran."

"Iya santai, gue malah lebih diseneng dipanggil Putra." Kataku.

Rediza mengangguk.

"Terus gimana itu Sacy?" Aku bertanya, biar ceritanya berlanjut gitu. Kami berdua entah kenapa sengaja mengecilkan langkah, mungkin biar lama nyampe, atau fokus cerita gak terburu-buru.

"Yeah, gimana ya? Dia kaya udah kecintaan gitu sama cowoknya dan selalu ngelindungim cowok itu.

"Pernah gue liat pahanya memar, pas gue tanya dia bilang itu kena ujung meja makan. Atau pas lengannya biru kaya bekas gigitan, dia ngeles dan gak mau jawab. Salah sih gue, gak maksa dia buat cerita."

"Berapa lama kaya gitu?" Tanyaku.

"Dia pacaran kelas 3 SMA sampai kuliah semester 4 deh kayaknya."

Aku mengangguk. Agak sedih juga sih.

"Gue lanjut ya? Saat semua kejadian ini lewat, gue sempet nemu buku hariannya Sacy, intinya kayak dia percaya kalau cowoknya itu sayang sama dia, dan akan berubah karena cinta.

"Lo tau Sacy punya anak?" Tanya Rediza.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Itu puncak dari masalahnya. Salah gue yang dulu gak terlalu perhatian ke Adek sendiri. Gue sama Sacy kehilangan sosok Papa dari kecil, karena ternyata Ibu gue itu cuma istri kedua, dan bokap sekarang sudah kembali ke keluarga pertamanya. Mungkin itu yang bikin Sacy gak bisa lepas sama cowoknya, dia butuh kasih sayang seseorang, dan gue sebagai kakak terlalu cuek dan fokus kerja.

"Sacy... ya gitulah, terlibat di hubungan yang gak sehat, bisa dibilang emang hubungannya gak sehat banget karena... kekerasan, sex, apalah itu."

Aku menelan ludah. Berat juga kayanya masalah Sacy.

"Sacy hamil saat ia kuliah semester 3, gue gak sadar, gak ngeh maksudnya sampai Ibu akhirnya curiga. Ibu bilang kalau Sacy kaya orang hamil, tapi gue masih positive thinking gak mau menilai adek gue senakal itu.

"Sacy tuh badannya kecil ya... jadi dia hamil pun gak keliatan, sampe usia 8 bulan, Ibu gue maksa gue untuk nodong pertanyaan ke Sacy karena Ibu yakin kalau anak perempuannya itu hamil.

"Dan ya... Sacy ngaku. Gue merasa gagal jadi Kakak hari itu. Gue nyesel cuek sama dia, gak perhatian sama dia, dan lainnya.

"Saat gue tanya siapa cowoknya, Sacy bilang kalau dia akan datengin cowoknya sendiri, dan bawa cowok itu ke rumah. Begonya, gue biarin Sacy pergi sendiri.

"Bukannya pulang bawa orang yang bertanggung jawab, Sacy malah pulang dalam keadaan babak belur. Gue langsung bawa Sacy ke rumah sakit, dan ternyata itu ngaruh sama kandungannya, Sacy melahirkan prematur malam itu. Hectic banget, dalam satu hari yang sama gue tau adek gue hamil, dan di hari itu juga gue dapet keponakan.

"Sacy gak izinin gue cari cowok itu, bahkan nama pun dia gak kasih. Gue khawatir sama psikis adek gue itu, sempet konsultasi ke dokter tapi kata Dokter anaknya bisa jadi terapi tersendiri untuk Sacy, karena anaknya kan gak 'dibikin' atas dasar keterpaksaan.

"Dia sempet cuti kuliah 2 semester untuk mengurus anaknya sendirian, dan benar kata Dokter, anaknya Sacy yang menenangkannya, bikin dia semangat buat memulai hari dan bekerja.

"Dan sampai sekarang, gue nyesel, semua jenis penyesalan. Nyesel gak care sama adik sendiri, nyesel gak nyari cowok itu."

"Tapi sekarang semua membaik kan?" Tanyaku.

"Yeah, tapi Sacy dapat beban seumur hidupnya, anak dan gunjingan orang-orang."

"Anak bukan beban kali, anak mah berkah. Kalo soal omongan orang... gak usah didenger lah, biarin aja mereka julid, egonya mereka masih butuh makan. Kita yang waras mah tahan aja egonya."

Rediza tersenyum kecut. Tak terasa kami sudah sampai di rumah Sacy.

"Lo jangan bilang kalo gue cerita ya?"

"Iya siap, Za!"

Rediza mengajakku masuk ke dalam, dan saat masuk ke bagian dalam rumah, aku merasa sejuk, merasa tenang saat melihat Sacy bermain dengan anak kecil yang duduk di high-chair meja makan.

"Ikut makan malem ayok, Mas Shadu!" Ucap Sacy ketika ia melihat gue bergabung.

"Waduh masih kenyang, mau pamit pulang aja." Kataku.

Rediza, Sacy, bahkan Ibunya memaksaku untuk makan malam. Tapi dengan lembut kutolak, jadi aku meminta barang-barang yang kutitipkan pada Sacy tadi, kemudian bergegas pulang.

Di jalan pulang, pikiranku berkelana ke mana-mana. Arsir wajah Sacy bermain bersama anaknya, lalu muka sedih Rediza yang kecewa dengan dirinya sendiri terus bergantian mampir di kepala.

Ini aku kenapa???

******

TBC

Thanks for reading,
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

****

Duuh Bang Put 😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duuh Bang Put 😘

***

Cussss sisa 11 hari lagiYuk yang belum ikutan bisa langsung chat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cussss sisa 11 hari lagi
Yuk yang belum ikutan bisa langsung chat

Singgah yang SungguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang