15. Redi

2.5K 501 28
                                        

Sejak Sacy mengantarku menjenguk anaknya Kalya, kami jadi akrab. Yeah bukan akrab secara fisik yang rajin ketemu atau apa. Tapi akrab via chat, meskipun chat-annya keseringan setelah jam pulang kerja.

Tapi yaudah lah, gak apa.

Sekarang kami juga gak formal kaya temen kantor biasa, ngomong udah jadi aku-kamu, walaupun gak sesantai gue-elu.

"Belum makan banget emang Mas seharian?" Tanya Sacy, sore ini dia mau aja aku culik buat nemenin makan.

"Pagi sih sarapan, roti doang, terus kan ke Jakarta rapat, sebenernya di sana rapat selesai jam makan siang, cuma kan ngejar rapat di kantor sama Pak Musa, udahnya lanjut kelas. Pak Yudha aja gak sempet aku beliin makan, cuma ngasi jajan doang." Jelasku, sambil menyebutkan nama supir kantor yang hari ini mengantarku rapat.

"Udah mas, makan dulu aja, takut keselek."

Aku mengangguk, melanjutkan aktivitas mengisi perut ini dengan khusu, sementara di hadapanku Sacy juga asik dengan pisang bakar miliknya.

"Kamu tuh rumahnya di mana sih? Kenapa gak pulang aja gitu? Makan di rumah." Tanyanya.

"Deket sini, di BNR. Males makan di rumah, gak ada orang, Mama lagi acara keluarga, ngajak Bibi buat bantu-bantu. Sepi. Terus temen-temen pada sibuk. Ada yang lagi ada masalah, ada yang baru melahirkan, ada yang istrinya hamil, ada yang di luar ngerti." Jelasku panjang lebar.

"Pusing yaaa?"

"Hehehe iya, kamu rumahnya yang waktu itu?" Tanyaku.

"Iya Mas."

"Tinggal sama orang tua?"

"Yap. Sama Ibu, Kakak, sama anak."

Aku diam. Pengin sih sebenernya nanya tentang anaknya dia, pengin tahu kejelasannya gimana. Cuma kaya belum berani aja.

"Kamu gak risi nongkrong sama aku gini? Gak takut namanya ikutan jelek juga?" Tanyanya.

"Aku mah gak peduli omongan orang, males nanggepinnya, gak beres-beres." Jawab gue.

Sumpah, susah yaa nahan mulut biar gak kepo.

"Lagian, emang orang ngomongin apa? Nama jelek kenapa?" Kann, penasaran juga ujung-ujungnya.

"Iya, dari masih di bagian kerja sama, sampe sekarang di TU jadi sekertaris, diomongin terus." Jawabnya.

"Yaudah, biarin aja. Musingin banget orang ngomong apa." Gak enak juga ujung-ujungnya buat nanya, jadi cuma bisa bilang gitu.

Makananku sudah habis, Sacy juga sudah selesai makan.

"Jadi bungkus gak?" Tanyaku, tadi dia bilang pisang bakarnya enak, empuk manis gitu, terus keingetan Kakaknya yang doyan pisang.

"Eh iya, jadi kayanya buat Redi."

Aku mengangguk. Berjalan menuju kasir, aku menambahkan tiga porsi pisang bakar sekaligus membayar makanan kami tadi.

"Jadi berapa itu?" Tanya Sacy.

"Gak usah, santai aja, kan aku yang ngajak."

"Beneran? Gak usah lah, kan itu buat kakak aku."

"Berisik ahh," kataku kemudian duduk di kursi terdekat buat nunggu, Sacy mengikutiku.

"Kerja di kantor udah lama Mas?" Tanyanya.

"Emm, udah 4 tahun sih, kamu?"

"Baru tahun ini masuk."

"Baru bangeet yak?"

"Mas Shadu umur berapa?"

"Jalan 29 nih, kamu berapa?"

"Masih 23."

Muda juga ni cewek.

Tak lama, pesanan pisang bakar selesai, aku segera mengambilnya dan mengajak Sacy untuk pulang.

Karena naik motor, tak sampai 30 menit kami tiba di rumah Sacy, dan pas-pasan adzan maghrib berkumandang.

"Makasi Mas Shadu."

"Aku yang makasi, udah nemenin makan." Kataku.

Sacy tersenyum, aku yang tadinya mau pulang, jadi betah liat Sacy senyum gitu. Hehehe!

"Balik, dek??" Aku dan Sacy menoleh, seorang pria yang sepertinya sepantaran denganku keluar dari rumah. Sudah rapi, sepertinya hendak ke masjid.

"Eh Kak?!" Ucap Sacy,

"Temennya Sacy?" Tanya kakaknya ini, aku mengangguk, kemudian membuka helm, biar sopan.

"Putra,"

"Rediza. Ikut solat ayok!"

"Eh??"

"Islam kan?"

Gue mengangguk.

"Ayok, jangan ditunda." Katanya bikin aku salting. Baru sekali, kenal sama orang langsung diajak solat.

"Masukin teras aja dulu motornya, daripada adzan gini di jalan." Ucapnya lagi.

Mau gak mau aku mengangguk. Jadi, langsung saja kuparkirkan motor sesuai titah Rediza.

"Sach, titip!" Aku melepas beberapa gelang, jam tangan dan tak lupa mengeluarkan dompet.

"Oh iya, Mas Shadu!" Sacy menerima barang-barangku tadi.

"Ayok!" Ajak Rediza lagi.

"Ada sendal?" Tanyaku.

"Cuma ada ini Mas, gak apa?" Sacy menunjuk sendal yang mungkin miliknya, dengan kepala mario bross gede banget ada di tengah.

Esdan.

"Yaudah deh gak apa." Kataku sambil melepas sepatu. Setelah itu, aku langsung mengikuti Rediza.

Selesai solat jamaah di masjid, Rediza langsung mengajakku pulang.

"Kenal Sacy di mana?" Tanyanya.

"Di kantor, kan dia sekertarisnya Bos, jadi sering ketemu buat minta tolong." Aku bingung, harus manggil Kak atau apa ya?

"Cuma temenan doang kan kalian?"

"Eh maksudnya?"

"Gak, pengin mastiin aja, abis sejak kejadian 4 tahun lalu, baru lagi Sacy dianter cowok."

"Kejadian apa?" Tanyaku, gak ngerti.

"Eh? Jadi lo belum tau ceritanya adek gue?"

Aku melirik, kemudian menggeleng.

"Yaudah, sambil jalan gue ceritain deh."

*******

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

Singgah yang SungguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang