"Kenapa Sach? Bilang aja." Kataku, karena anak ini sedari tadi diam saja.
"Sebelumnya aku mau minta maaf, karena banyak bikin Mas Shadu repot."
"Repot apa? Gak pernah ah."
"Mungkin gak kerasa aja Mas, tapi ya aku ngerasanya ngerepotin. Maaf lohh." Jelasnya.
Aku tersenyum, hampir saja mengeluarkan kata andalaku untuknya: santai aja.
"Yaudah dimaafin, tapi aslinya sih gak perlu karena akunya gak ngerasa."
"Duhhh, gimana yak?"
"Apa lagi?"
"Bingung aku bilangnya, tapi kalo gak bilang kepikiran aku mas, sumpah deh."
"Rediza bilang apa?" Tanyaku. Terlihat Sacy langsung menelan ludah, ia seperti bingung mengutarakan apapun yang ingin ia sampaikan itu.
"Malu aku bilangnya Mas."
"Gini aja Sach, kamu anggep aja ngomong sama boneka, guling atau apalah, jangan nganggep ngomong sama aku, bukan berarti aku gak jadi pendengar, aku denger, dan sebisa mungkin aku bakalan ngerti."
"Gapapa nih, Mas?"
"Iya gapapa banget."
"Aku tuh cerita itu loh Mas, ke Redi, yang pad kita pulang jemput Sasha dari daycare. Cerita semuanya sih ke dia, karena emang untuk saat ini orang terdekat aku dia, bahkan aku lebih deket ke Rediza daripada ke Ibu."
Aku diam, bingung mau merespon apa karena sepertinya kalimat panjang barusan itu baru pembukaan.
"Ehmm, aku cerita ke Redi soal ajakan Mas Shadu waktu itu dan apa tanggapanku. Redi ngerti sama keputusanku, tapi dia juga nasehatin aku."
"Nasehatin gimana?" Mulutku gatal sekali ingin bertanya.
"Yaa katanya aku masih muda, hidupku masih panjang, rasanya sayang kalau melewatkan hal-hal baik, karena kadang, hal baik itu gak dateng dua kali."
"Hal baik apa?"
Sacy melirikku sekilas, ia tersenyum manis dan tiba-tiba saja aku merasa tenang, sinar matahari siang ini yang menyengat pun mendadak serasa teduh.
"Yang ajakan Mas Shadu itulohh." Ucapnya malu-malu.
"Kamu mau nyoba sama aku? Bukan sekedar rekan kerja, dan lebih dari kata teman?"
Sacy mengangguk, dan kali ini, aku merasa ringan, merasa terbang.
"Tapi Sach, aku bukan cuma main-main loh, kaya udah gak pantes aja." Kataku.
"Yeah Mas, dengan masa lalu aku yang begitu, aku juga gak mau kalau cuma sekedar main-main, tapi... bener Mas Shadu tuh?"
"Bener apa?"
"Ya Mas Shadu ngajak deket, tanpa tahu aku aslinya gimana."
"Ya jelasin dongg, heheheh!" Kataku berusaha menetralkan suasanya, biar gak kaku.
"Apa yang Mas Shadu mau tau?"
"Apa pun yang bersedia kamu bagi ke aku."
Sacy menatapku lebih tajam, matanya kini terlihat bercahaya, aku bingung mengartikan reaksi matanya ini. Apa yang terjadi di sana? Di dalam hatinya. Mata itu jendela hati kan?
"Sedikit-sedikit aku ceritain ya Mas, dari yang paling terburuk... aku single, belum menikah tapi sudah punya anak."
Aku mengangguk kalem, aku sudah tahu itu dari Rediza, tapi tetap... senang mendengarnya bercerita.
"Ada yang mau mas Shadu tanya?"
"Engga, aku cuma mau kamu cerita."
"Tapi jam makan siang udah abis Mas."
"Lanjut pulang kerja mau? Atau kamu harus langsung pulang?"
"Bisa sih pulang telat, tapi ya jangan lama-lama, aku ngerasa bersalah kalau pulang pas Sasha udah tidur."
"Okeeh, di rumah kamu sambil main sama Sasha pun gak masalah kok."
Sacy mengangguk, ia tersenyum. Kemudian aku mengajaknya kembali ke kantor. Jam istirahat sudah lewat 10 menit nih.
*****
Sepulang kerja, Sacy bilang gak apa kalau kita mau mampir dulu. Jadilah gue memilih kafe kecil yang jaraknya gak terlalu jauh, biar kalau mau pulang gampang dan gak kena macet lagi.
"Pertama, jangan manggil mas-masan yaak, berasa tua, lagian aku bukan orang jawa."
"Tapikan di kantor gitu."
"Ya kan sekarang lagi gak di kantor, Neng."
"Terus manggil Aa?" Tanyanya polos. Duhh, berasa Rafathar.
"Yaa terserah, tapi jangan Mas deh, kaya formal banget, soalnya di kantor begitu."
"Okeeeh!"
"Jadi mau cerita apa?" Tanyaku dan Sacy mendadak gugup, jadi gak enak deh.
"Tenang Sach, apapun yang mau kamu ceritain, aku siap nampungnya, dan nerima." Kataku sungguh.
"Yeaahh, kaya yang aku bilang aja, aku bukan cewek baik-baik, aku punya anak sebelum menikah."
"Emang kalo punya anak sebelum menikah udah pasti cewek gak baik tuh?"
"Ya kan emang begitu kata orang-orang, gak bisa jaga diri atau apalah."
"Itu kan kata orang yang cuma tau luarnya aja, kalo aku sih pengin tau versi dalemnya sebelum menilai orang, kalo gak ya aku gak mau judge apapun."
Sacy diam, ia tersenyum kemudian menyesap milkshake redvelvet pesanannya sebelum buka suara.
"Aku tuh anak bungsu dari dua bersaudara, dari kecil udah manja, manjaaa banget. Makanya pas Bapak gak ada, ya nyari orang gitu deeh, dan yaaa... dapet orang yang baiknya karena ada maunya."
"Kamu udah move on belum sih, Sach?"
"Gak tau, jujur aku gak tau Kak Shadu, perasaan aku hambar, kaya yang... udah gak punya rasa apapun ke siapapun."
Aku diam. Berarti itu termasuk aku ya?
"Kamu trauma punya hubungan sama cowok?"
"Jujur, iya. Apalagi ini baru 3 tahun lebih sejak kejadian dia ninggalin aku, jadi... kaya belum percaya lagi. Tapi... denger omongannya Redi, dia bilang kalau semua orang gak bisa dipukul rata, aku mulai sedikit-sedikit berani buka hati untuk kesempatan baik yang ada."
Aku menarik nafas panjang,
"Sach, asal kamu tau aja, bukan cuma kamu kok yang saat ini mencoba buka hati, tapi aku juga."
Sacy terlihat terkejut, aku tersenyum padanya.
"Emang kak Shadu kenapa?"
Menelan ludah, aku menarik cangkir kopi, menyesapnya sedikit kemudian menyiapkan diri untuk bercerita.
*******
TBC
Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
Singgah yang Sungguh
Fiction généraleAku pernah berniat singgah, namun ia tak sungguh. - Putra. (Completed)