Laa Tahzan

3.3K 447 8
                                    

Terdengar mengalun merdu bacaan surah Al-Fatihah di penghujung raka'at sholat Shubuh. Tampak seorang pria berjanggut putih yang juga menunggu keluarganya di ruang ICU, memimpin sholat berjama'ah, pagi itu.

Baru kali ini dia berusaha menunaikan ibadah dengan khusyuk. Setelah semalam dia menunggu dengan gelisah, akhirnya dokter Ibnu, Spesialis Bedah Saraf, keluar dari kamar operasi.

Beliau memberitahukan berita paling bahagia dalam hidupnya. Operasi Mami berhasil. Kali ini, dia larut dalam sujud panjangnya. Dia berjanji dalam hati, bila Mami kembali sembuh, dia akan berubah menjadi seseorang yang lebih baik lagi.

Ini bukan hanya tentang janji pada Penciptanya. Tapi lebih kepada janji pada dirinya sendiri.

Biarlah semalam dia kehilangan sosok Nathan yang lebih memilih memutuskan hubungan mereka karena lelaki itu tidak dapat melanjutkan komitmen menuju tali pernikahan yang diimpikannya.

Mungkin dia bertanya pada lelaki itu di saat yang tidak tepat. Karena dia takut kehilangan Mami. Dia hanya meminta lelaki itu mengatakan di hadapan Mami, bahwa lelaki itu serius akan menikahinya.

Namun Nathan memilih pergi, meninggalkannya sendiri. Anehnya, dia hanya merasa sedikit terluka. Rasa sedihnya telah tergantikan dengan syukur yang bertambah, melihat Mami berangsur membaik.

Ditatapnya wajah gadis dalam cermin berukuran besar di barisan shaf jama'ah wanita. Seperti bukan dirinya. Potret lama tentang gadis yang masih membuka dan menutup hijab sekehendak hatinya.

Ya Allah, beri ku kesempatan untuk kembali. Ampuni segala dosaku dan jadikan segala kebaikan yang kulakukan, menjadi jalan kesembuhan untuk Mami.

"Queen... Papi boleh berbicara sebentar?" Lelaki bersahaja yang akan selalu disayanginya, memanggilnya. Memberi isyarat agar dia duduk mendekat.

Hanya ada mereka berdua setelah jama'ah sholat membubarkan diri.

"Ijinkan Papi bercerita. tentang Raina... Papi minta maaf kalau baru bisa menceritakan semuanya hari ini... "

Papi menatap langit-langit dengan pandangan yang sulit didefinisikan. Ada rasa penyesalan, kesedihan dan emosi yang tampak di sudut matanya.

"Raina adalah kakakmu. Dia putri Papi, yang telah lama Papi tinggalkan sejak usia 3 bulan... Bunda Raina adalah istri pertama Papi yang telah pergi selama-lamanya, karena sakit."

Tidak ada hal yang lebih mengejutkan dari perkataan Papi, saat ini. Membuat Queen hanya ingin mengganggapnya mimpi belaka.

Namun saat Papi menceritakan semuanya. Lelaki yang disayanginya ini, tampak rapuh dan terlihat lemah tak berdaya.

Setiap orang punya rahasia. Dan dia merasa beruntung, Papi mau berbagi rahasia hidup dengannya.

Meski meninggalkan luka yang mungkin akan berbekas. Namun dia berdo'a, semoga luka itu dapat menghilang bersama waktu.

"Papi selalu menyayangi kalian berdua. Kalianlah sinar matahari yang menjadi energi dalam hidup Papi." Papi mengelus kepala Queen dengan lembut.

Queen menitikkan air mata. Tapi Papi, Queen sudah jahat selama ini dengan Raina.

"Queen mau temani Papi menjemput Raina? Barusan Papi mendapat kabar, semalam Ina sakit dan sempat dirawat di puskesmas pinggir kota."

Gadis itu mengangguk. Dia akan menemani Papi dan mencoba meminta maaf pada Raina. Meski dia harus meruntuhkan ego yang telah tersusun tinggi di hatinya.

                        💗💟💖

Opa mempersilahkan tamunya duduk. Bertiga mereka berbincang, menunggu Raina membereskan barang-barang di kamar.

Sepulang dari puskesmas, Ayah Rei menjemputnya, untuk kembali ke rumah gadis itu yang sesungguhnya.

"Saya akan sangat merindukan Raina. Dia tumbuh menjadi anak yang baik, bersama Ibu asuh yang tulus menyayanginya. Almarhum Bundanya pasti juga bangga melihatnya."

Opa menghirup lemon tea hangat buatan Raina.

"Kalau Om mengijinkan, saya akan menjemput kembali Raina."

Perkataan Rafa membuat Ayah gadis itu menghela napas pelan. Pria itu belum ikhlas melepaskan putrinya.

Terlalu banyak hal yang belum dilalui bersama putri kandungnya dan ia ingin menebus kesalahannya dengan menemani kemana pun gadis itu akan pergi.

"Saya ingin menjadikan Raina sebagai pendamping hidup saya. Mungkin kami sudah lama tidak berjumpa, namun saya percaya kalau takdir akan membawa Raina kembali pada saya."

Sejak kehilangan gadis itu semalam, Rafa meyakinkan dirinya berulang kali, kalau ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.

Ia sudah seperti orang gila menyusuri jalanan hanya untuk mencari gadis yang telah melumpuhkan separuh dari sinaps otaknya yang pintar.

Membuatnya sulit berkonsentrasi pada hal yang lain, selain berpikir untuk menemukan keberadaan gadis itu.

Ia akan melindungi Raina sampai batas maksimal kemampuannya, karena gadis itu lebih berharga dari aset apapun yang dimilikinya.

Ia tidak rela berbagi dengan yang lain, termasuk dengan lelaki bernama Fadlan yang telah dia ketahui, diam-diam dikagumi oleh calon istrinya.

Bukankah mereka lebih dahulu bertemu dan seharusnya dia yang menjadi cinta pertama gadis itu.

"Terimakasih Nak Rafa. Jujur saya bahagia karena banyak yang menyayangi Raina, di saat saya sendiri kurang mencurahkan perhatian untuknya."

Ayah Rei menatap lekat ke arah lelaki yang baru saja melamar putrinya.

Naira... apa yang harus aku lakukan?

"Saya akan membicarakan ini berdua dengan Raina. Saya juga mesti tahu kesiapan dia untuk menikah dan apa yang menjadi harapannya."

Ayah Rei akhirnya menjawab dengan tegas, keputusan finalnya.

Terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Rafa bangkit dari duduk dan membantu Raina yang tampak kesulitan membawa koper.

Queen menyusul di belakang Raina, dengan sekotak kardus kecil berlapis kertas kado bermotif bunga tulip, yang dipegangnya dengan hati-hati.

Isi kotak itu adalah foto-foto kenangan Ina bersama mendiang Bundanya dan juga dengan Nyai.

Queen melihat pandangan sedih Rafa, pria dewasa yang telah dianggap seperti kakaknya sendiri.

Rafa tampak tidak bersemangat mengantar kepergian Raina. Setelah semua barang-barang masuk ke dalam bagasi, Raina dan keluarga barunya, berpamitan.

Gadis itu mencium punggung tangan Opa dan tersenyum padanya.

"Terimakasih Opa, Kak Rafa. Raina minta maaf sudah banyak merepotkan."

"Jangan sungkan untuk menengok Opa kesini ya Nak. Opa akan merindukan minuman hangat buatan Ina."

Gadis itu tersenyum lagi. Senyum yang akan sulit dilupakannya.

I wanna hug you, but I can't.

Dear God, why did you choose her to fill in my heart, when she couldn't even stay?

Our Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang