Di Ujung Penantian

2.7K 317 12
                                    

*Rafa Pov*

Pulang dari kantor, aku menjemput Raina di kantor dokter April. Sejak kemarin dia ingin main ke sana, bertemu teman-temannya. Setelah menikah, aku memang meminta istriku resign.

Aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama di rumah. Kami menjalani hari-hari seperti pasangan lainnya.

Setiap selesai sholat Shubuh, Raina memasak sarapan dengan menu yang lebih sehat dari sebelumnya. Kami berdua sepakat mengurangi karbohidrat dan makanan berlemak.

Jadi Raina lebih banyak memasak lauk tanpa minyak. Lebih sering daging asap atau pepes ikan. Atau steak salmon yang diracik dengan bumbu ala Raina. Istriku mulai pandai membuat saus berbahan jamur sebagai toppingnya.

Setiap weekend, kami berenang di kolam renang belakang rumah. Kalau hari hujan, kami memilih senam dan treadmill di ruangan olahraga. Dulu sebelum bertemu Raina, aku jarang ngegym. Tapi kini sudah ada istriku yang menemani.

Sebisa mungkin aku dan Raina menerapkan pola hidup sehat. Aku sempat mengkhawatirkan kondisi istriku, mengingat dulu mendiang Ibunya memiliki penyakit jantung bawaan. Di samping itu, aku ingin segera memiliki anak dengannya. Kami saling mengkondisikan agar selalu hidup sehat.

Tidak terasa kami telah memasuki usia pernikahan ketiga tahun. Istriku belum ada tanda-tanda mengandung dan aku berulang kali membujuknya untuk ikut program bayi tabung.

Tapi Raina belum mau. Dia masih ingin kami berikhtiar secara alami. Aku tidak bisa memaksanya. Karena terakhir kali aku membicarakan hal ini satu tahun lalu, dia menangis. Aku tidak sampai hati melihatnya menangis lagi.

Siang ini aku menunggunya di depan kantor Rumah Senyum.

"Sayang, masih lama?"

Sudah setengah jam aku disini. Akhirnya aku menelepon Raina.

"Sebentar lagi aku keluar, Kak. Masih melepas kangen sama teman-teman."

"Oke aku tunggu. Jangan lama ya. Aku lapar banget. Sudah jam makan siang. Pengen makan siang bareng di Lotus Restonya Barra."

"Aku barusan sudah makan disini, Kak. Sama Mbak Sari dan Mbak Ambar."

Hmm... Kenapa aku mendadak jadi kesal. Padahal aku dari tadi menunggu karena hendak mengajak istriku makan siang.

Ah, dia memang kadang tidak peka. Aku menghela napas menahan marah. Akhir-akhir ini aku memang jadi lebih sensitif.

Apa mungkin karena lagi-lagi aku merindukan kehadiran seorang anak. Adam sahabatku baru saja memiliki putra kembar. Nama putranya Kenzo dan Kenzi. Kami baru saja menengok kedua bayi tampan itu sepekan yang lalu.

Raina seperti biasa, selalu terlihat antusias setiap kali menggendong bayi mungil dan menganggap mereka seperti anaknya sendiri. Salahkah aku bila aku menginginkan hal yang sama.

Membayangkan aku bisa mengelus perut buncit istriku, memijat bahu dan kakinya yang pegal karena membawa satu nyawa di dalam rahimnya. Menunggu saat-saat kelahiran anak kami. Anakku dan Raina. Anak kami berdua.

Sebenarnya tanpa anak atau memiliki anak, aku berusaha selalu mencintai Raina. Dia selalu menjadi istri yang menyenangkan hatiku dan membuat aku merasa tenang bila berada di dekatnya.

Itulah yang membuat aku sering berpikir ulang untuk membahas buah hati dengannya. Kami sudah berusaha sampai melakukan bulan madu untuk kesekian kalinya. Hanya saja jadwal menstruasi Raina yang tidak teratur, membuat kami kesulitan menghitung masa subur.

Kaca jendela mobil diketuk dari luar.

Wajah manis istriku tampak di luar. Ada dokter April yang menemani Raina sampai ke parkiran.

Our Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang