Dia memijat lembut lengan wanita yang menjaganya sejak masih kecil.
Nyai, begitu nama wanita yang telah menjadi pengganti kedua orangtuanya, kini terbaring lemah dengan begitu banyak alat medis terpasang di tubuhnya.
Semalam Bu Rosa, pemilik kontrakan datang memberi ultimatum karena dua bulan ini, dia terlambat membayar. Jika bulan depan berulang, sudah ada calon pemilik kontrakan baru yang akan menggantikan.
Begitu pintu ditutup Bu Rosa dengan kasar, gadis itu segera berjalan ke kamar Nyai. Semoga Nyai masih tidur dan tidak mendengar betapa jahatnya kata-kata si pemilik rumah terhadap mereka.
Wajahnya pias saat menemukan Nyai sudah jatuh tergeletak di samping lantai kamar.
"Gi.. Gio, buruan kesini. Tolongin gue, Nyai pingsan."
Pria di seberang yang sedang mengetik tugas kampus, segera menghentikan aktivitasnya.
Gadis itu terisak.
"Gue kesana. Lu tenang ya. Sekarang, siapin KTP Nyai, berkas-berkas yang diperlukan. Terus pastiin listrik dan kompor di rumah aman pas gue jemput."
Pria itu segera menyambar kunci mobilnya. Ia tanpa sadar memacu kendaraan seperti orang kesurupan.
Dadanya terasa sesak saat kemudian mendapatkan kelopak mata gadis itu bengkak karena terus-menerus menangis.
Nyai.. Bangun... Jangan tinggalin Ina.
Kali ini dia sendirian. Tidak ada Gio dan Queensa yang menemaninya. Gio sudah cukup membantunya mengurus administrasi RS, bahkan ia rela merogoh kantongnya untuk memberikan uang DP masuk ke ruang perawatan intensif.
Tadi lelaki itu pamit karena minggu ini ia banyak ujian menjelang kelulusan S.Ked. Gio sudah menemaninya berdiskusi dengan dr Diana yang merawat Nyai.
dr Diana menjelaskan tentang kondisi Nyai sudah terdiagnosa gagal ginjal kronik yang membutuhkan cuci darah segera. Semalam Nyai sempat kejang satu kali.
Hb Nyai turun drastis di angka 4.6 dan membutuhkan transfusi sebelum cuci darah.
Pikirannya bercabang. Sudah beberapa hari ini pula, dia ijin tidak bekerja. Laras dan Dewi menggantikan pekerjaannya di toko. Tapi dia tidak bisa terus-menerus begini. Apa mungkin sebaiknya dia resign saja?
Diketuknya pelan kaca jendela ruangan intensif perlahan. Berharap Nyai segera membuka mata.
"Nyai, bangun... Ina kesepian. Ina kangen sama Nyai."
Lagi-lagi air matanya tumpah melihat Nyai yang masih terbaring damai dalam tidur panjangnya.
Jam besuk sudah lewat. Kini dia seperti keluarga pasien lainnya. Hanya dapat duduk dan memandang dari balik kaca.
Yang berbeda, kini hanya dia yang bertahan duduk berhari-hari disini. Sementara keluarga pasien lain satu persatu pergi bergantian menengok sanak keluarganya yang juga dirawat dalam kondisi kritis.
"Makan dulu," Gio tiba-tiba sudah berada di dekatnya. Lelaki itu membuka tempat makan berisi nasi dan ayam goreng kesukaan Raina. Ia juga membuka tutup botol air mineral agar gadis itu tidak kehausan.
Di balik sikap cuek temannya ini, tersimpan hati yang lembut yang hanya dapat disentuh dengan orang yang tepat.
"Terimakasih Gi."
"Tumben makannya sedikit. Padahal gue dah beli 4 porsi. Biasanya kan kamu nambah."
Gio mengusap sudut bibir Raina yang terkena saus tomat, dengan tissue.
"Jangan sampai sakit. Kalau kamu sakit. Siapa yang nanti akan merawat Nyai."
Raina hanya mengangguk lemah. Selera makannya hanya muncul saat sahabat-sahabatnya datang menemani.
"Gue cabut ya habis ini. Ada ujian lagi jam 2 siang. Nanti malam gue mampir lagi."
"Nggak usah kesini Gi. Kamu istirahat aja di rumah. Belajar supaya cepat lulus."
"Ngga papa. Gue malah seneng disini, ada teman. Di rumah gue juga ngga bisa tidur. Capek dengerin Bokap sama Nyokap berantem."
Diurungkannya niat untuk membelai kepala gadis itu yang terbalut kerudung berwarna ungu.
She is just an ordinary friend. Nothing special about her.
Ia hanya jatuh cinta pada Queensa, meski gadis itu tidak pernah membalasnya karena sudah ada Nathan, pria beruntung yang lebih dulu mendapatkan hati gadis cantik itu.
Dan dia pria brengsek yang mendekati sahabat Queen, agar dia memiliki alasan untuk berlama-lama dengan gadis yang disayanginya.
Gadis itu mulai mengantuk. Bunyi alat monitor yang samar terdengar dari balik kaca, seolah menjadi musik tersendiri, yang membawanya ke alam mimpi.
Tak berapa lama, dia mulai terlelap. Meninggalkan segala kesedihan dan rasa lelahnya, setelah berhari-hari kurang tidur.
Suara langkah kaki berjalan mendekat. Lelaki itu baru mendarat di bandara setelah menyelesaikan perjalanan bisnisnya di Inggris. Tangan kekarnya mengusap lembut pipi gadis yang tertidur di sofa ruang tunggu.
Betapa ia ingin gadis kecilnya tahu bahwa masih ada seseorang yang sangat menyayanginya.
Pria itu duduk. Diciumnya lembut kening gadis itu dan ditatapnya lekat mata dan sudut bibir tipis yang selalu mengingatkan akan sosok wanita yang selalu dicintainya.
Dibiarkannya kepala gadis itu bersandar nyaman di bahunya.
Buket bunga krisan berwarna merah muda yang berada di genggaman gadis berkaki jenjang itu, tiba-tiba terjatuh.
"Papi?......"
Gadis itu berdiri tertegun. Dia bahkan tidak mempercayai penglihatannya. Papi yang jarang memeluk dan menciumnya kini bahkan melakukan hal yang lebih pantas dilakukan untuk putri kandungnya sendiri.
Gadis itu menghapus butir bening yang menggenang di pipinya.
I hate you... I really hate you Raina.
💗💟💖
*)S. Ked= Sarjana Kedokteran
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Pure Love
Roman d'amourGajah dan Zebra berteman sejak kecil. mereka terpisah sekian lama. Akankah mereka bertemu kembali? bisa ngga sih, gajah dan zebra saling menyayangi? apakah suatu saat mereka bisa tinggal dalam 1 kandang yang sama? it's about a pure love that can re...